Selasa 01 Dec 2020 17:09 WIB

Kekeliruan dari Seruan Adzan Jihad yang Jadi Viral

Jangan artikan jihad seruan untuk membunuh, membom atau saling mematikan.

Muadzin mengumandangkan adzan. Seruan adzan dengan tambahan ajakan jihad yang belakangan viral di media sosial dianggap bertentangan dengan Islam. Dalam Islam, selain urusan sholat Nabi Muhammad SAW tidak pernah mengubah redaksi adzan, apalagi menambahkannya untuk tujuan jihad.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Muadzin mengumandangkan adzan. Seruan adzan dengan tambahan ajakan jihad yang belakangan viral di media sosial dianggap bertentangan dengan Islam. Dalam Islam, selain urusan sholat Nabi Muhammad SAW tidak pernah mengubah redaksi adzan, apalagi menambahkannya untuk tujuan jihad.

REPUBLIKA.CO.ID,  oleh Andrian Saputra, Muhyiddin, Fuji Eka Permana, Antara

Video di media sosial tentang muadzin yang mengumandangkan adzan namun disertai ucapan 'hayya alal jihad' menjadi viral. Apalagi jamaah masjid yang berada di sekitar muadzin tersebut kemudian mengikuti ucapan itu sambil mengepalkan tangan.

Baca Juga

Kumandang adzan yang merupakan ajakan bagi umat Islam untuk menuaikan sholat menjadi berubah makna. Seruan 'hayya al sholah' atau ajakan untuk sholat, diganti menjadi 'hayya alal jihad' atau berarti mari berjihad.

Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI), Jusuf Kalla, menegaskan seruan jihad yang ditambahkan pada adzan adalah keliru. Tindakan menyerukan jihad seperti itu tidak boleh dilakukan di dalam masjid.

“Adzan hayya alal jihad itu keliru, harus diluruskan. DMI menyatakan secara resmi menolak hal-hal seperti itu,” kata dia, dalam keterangan, Selasa (1/12). Seruan jihad harus diluruskan sebagai sesuatu yang bermakna baik, bukan sebagai ajakan berbuat kekerasan dengan mengatasnamakan Islam.

Ia menjelaskan jihad jangan dipahami sebagai konteks negatif untuk melakukan tindak kekerasan. "Jihad tidak selamanya bermakna negatif karena menuntut ilmu atau berdakwa juga bisa diartikan sebagai jihad. Sehingga kalau mau berjihad, dapat dilakukan dalam menuntut ilmu atau berdakwa,” kata dia.

"Jihad jangan dijadikan seruan untuk membunuh, membom atau saling mematikan. Karena itu bisa menimbulkan aksi teror seperti yang akhir-akhir ini terjadi di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah," kata JK.

Ia menegaskan masjid tidak boleh digunakan sebagai tempat untuk menyebarkan ajaran radikal dan mengajak pertikaian antarumat beragama. “Masjid jangan dijadikan tempat untuk kegiatan yang menganjurkan pertentangan,” kata JK.

Hal itu disampaikan JK saat melakukan rapat virtual bersama pengurus DMI dan pemuda-remaja masjid se-Indonesia dari kantor DMI di Jakarta. Kepada seluruh pengurus masjid di daerah, JK mengingatkan kembali regulasi dan prinsip DMI bahwa masjid tidak boleh dijadikan tempat kampanye.

“Kita harus menjaga masjid, tidak boleh membawa masalah perbedaan pilihan ke masjid,” kata Wapres ke-10 dan 12 itu.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) DMI, Imam Addaruqutni, menyampaikan jihad dalam Islam punya istilah khusus. Artinya jihad untuk kepentingan umum seperti perbaikan ekonomi, pembangunan, silaturrahim, dan perjuangan agar orang-orang tetap sehat saat pandemi Covid-19, itu semua adalah jihad.

Ia mengatakan, usaha yang sungguh-sungguh untuk kebaikan bersama tanpa menyakiti orang lain, itu adalah jihad. "Polisi yang memberantas narkoba dan teroris juga jihad, petugas negara menegakan hukum dan keadilan adalah jihad," ujarnya.

Imam menjelaskan, DMI tidak bermaksud atau sengaja menghilangkan kata jihad. Jihad ada tapi bukan untuk seruan sholat. Jihad itu adalah usaha sendiri maupun bersama-sama untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa. Ia menegaskan, jihad tidak boleh dimaknai untuk memerangi orang yang semata-mata beda.

Wakil Menteri Agama, Zainut Tauhid, mengatakan seruan jihad dalam kumandang adzan tidak relevan jika dikaitkan dengan kondisi Indonesia saat ini. “Jika seruan itu dimaksudkan memberi pesan berperang, jelas tidak relevan. Jihad dalam negara damai seperti Indonesia tidak bisa diartikan sebagai perang,” kata dia.

Ia juga meminta seluruh pihak, umat dan organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam untuk menahan diri serta melakukan pendekatan persuasif dan lewat dialog dalam menanggapi hal itu. Ulama juga diminta memberikan pencerahan kepada umat, agar tidak terjebak pada penafsiran tekstual Alquran semata.

Menurut dia, pemahaman agama secara tekstual, tanpa disertai pengertian kontekstual, dapat melahirkan paham radikal dan ekstrem di kalangan masyarakat. “Di sinilah pentingnya pimpinan ormas Islam, ulama dan kiai memberikan pencerahan agar masyarakat memiliki pemahaman keagamaan yang komprehensif,” ujar Zainut.

Anggota komisi VIII DPR RI yang juga pengasuh Pondok Pesantren Al Mizan Majalengka, KH Maman Imanulhaq mengatakan kalimat seruan untuk berjihad dalam seruan adzan tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah. Ia menjelaskan susunan lafadz adzan dan iqamah tidak perlu ditambah dengan kalimat seruan lainnya.

Meski memang dalam beberapa kondisi tertentu semisal faktor cuaca yang ekstrim dan ada hal yang membahayakan maka muadzin dapat menyerukan jamaah untuk sholat di rumah sebagaimana merujuk sejumlah hadits. Tetapi tidak ditemukan keterangan menambahkan kalimat seruan berjihad dalam adzan.

Menambahkan seruan jihad pada adzan atau iqamah disebutnya perkara bidah. KH Maman meminta umat tidak terprovokasi dengan beredarnya video tersebut.

"Saya rasa viralnya video itu tidak perlu ditanggapi secara berlebih. Kita jangan terprovokasi, kita jangan terhasut itu mungkin lomba adzan yang kreatif saja, atau lomba iqamah yang kreatif walau pun kreatifitasnya berlebihan, bi'dah yang bidahnya  mengada-ngada, makanya saya berprinsip tidak perlu ditanggapi berlebihan. Masyarakat yang rasional yang patuh pada ajaran ulama dan habaib akan selalu mengikuti ajaran Islam yang diajarkan Rasulullah tidak mengada ada tidak juga membuat kecemasan dan kepanikan," kata KH Maman.

Katanya, perspektif jihad pada hari ini bukan dengan melakukan perlawanan kepada pemerintah yang sah. "Jihad pada konteks hari ini adalah bagaimana kita melawan kemiskinan, melawan kebodohan dan tentu secara gotong royong kita sekarang ini melawan Covid-19," jelasnya.

Ketua Majelis Ulama Indonesia periode 2020-2025, KH Cholil Nafis menjelaskan tujuan adzan yang sebenarnya. Pengasuh Pondok Pesantren Cendikia Amanah Depok ini mengatakan, adzan sebenarnya panggilan untuk memberi tahu waktu sholat dan melakukan sholat jamaah di masjid. Meskipun, syariah juga menganjurkan kepada selain sholat, seperti sunnah mengadzani anak yang baru lahir atau saat jenazah diturunkan ke liang kubur.

Di zaman Rasulullah SAW juga pernah dilakukan penambahan atau perubahan redaksi adzan manakala ada udzur yang menghalangi masyarakat untuk sholat di Masjid, seperti hujan deras dan angin kencang. “Adzan waktu itu diubah dengan pemberitahuan dalam redaksi adzannya bahwa masyarakat diminta untuk sholat di rumahnya,” ujar Kiai Cholil dalam keterangna tertulis yang diterima Republika.co.id, Senin (30/11).

Namun, menurut Kiai Cholil, selain karena urusan sholat Nabi Muhammad SAW tak pernah mengubah redaksi adzan. Karena itu, redaksi adzan tidak boleh diubah untuk tujuan jihad seperti yang tengah viral di media sosial.

“Selain karena urusan sholat itu, Nabi SAW tak pernah mengubah redaksi adzan. Bahkan saat perangpun tak ada redaksi adzan yang diubah. Redaksi adzan itu tak boleh diubah menjadi ajakan jihad. Karena, itu ibadah yang sifatnya tauqif (sudah ditetapkan dan tidak boleh ditambah-tambah),” kata Kiai Cholil.

Dia pun berharap, umat Islam di Indonesia tidak mengubah redaksi adzan yang sudah baku. Dia juga mengimbau kepada masyarakat untuk tetap tenang dan tidak terprovokasi untuk melakukan kekerasan dan kerusuhan.

“Saya berharap masyarakat tak mengubah adzan yang sudah baku dalam Islam. Panggilan jihad tak perlu melalui adzan. Dan jihad bukan hanya berkonotasi perang secara fisik saja tapi juga dalam memantapkan iman dan penguatan umat Islam,” jelas Kiai Cholil.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement