Sabtu 12 Dec 2020 05:03 WIB

207 Kiai dan Nyai Pesantren Wafat Selama Pandemi Covid-19

umat Islam selama pandemi Covid kehilangan 207 Kyai dan Nyai

Rep: Muhyiddin/ Red: Muhammad Subarkah
Petugas kesehatan melakukan pengambilan sampel tes usap/ SWAB di Pondok Pesantren Sunan Pandanaran, Sleman, Yogyakarta.
Foto: Wihdan Hidayat / Republika
Petugas kesehatan melakukan pengambilan sampel tes usap/ SWAB di Pondok Pesantren Sunan Pandanaran, Sleman, Yogyakarta.

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Umat Muslim memang harus peduli pada pandemi Covid-19. Sebab, korbannya bagi dunia pesantren sangat serius. Covid-19 sudah membuat korban bagi para kyai dan santri selaku pengelola pesantren.

Kenyataan itu dianalisa oleh Ketua Umum pimpinan pusat asosiasi pesantren NU atau Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI) PBNU, KH Abdul Ghaffar Rozin. Dia  mengungkapkan, sampai Selasa (8/11) tercatat sudah ada 207 kiai dan nyai yang wafat akibat Covid-19. Karena itu, menurut dia, negara harus hadir secara terpadu untuk mengatasi pandemi Covid-19. 

"RMI PBNU mencatat 207 Masyayikh (Kiai dan Nyai) wafat selama masa pandemi dan kasus Covid-19 paling tidak ditemukan di 110 pesantren," ujar kiai yang akrab dipanggil Gus Rozin dalam siaran pers yang diterima Republika, Jum'at (11/11). 

Menurut dia, wafatnya pada para guru di pesantren tersebut menjadi sebuah kehilangan yang sangat besar sekaligus ancaman serius bagi kalangan pesantren dan juga bangsa Indonesia pada umumnya.

"Ancaman terhadap pesantren dan kiai berarti ancaman terhadap kelangsungan pendidikan agama dan karakter bangsa Indonesia," ucapnya. 

Di tengah amukan badai pandemi ini, menurut dia, RMI PBNU melihat negara belum hadir secara optimal. Di antara indikatornya antara lain tidak optimalnya kordinasi antar dinas atau kementerian terkait penanganan Covid-19 di pesantren, dan terbatasnya informasi dan edukasi tentang Covid-19 bagi pesantren.

Selain itu, menurut dia, komunikasi publik selama ini juga tidak berpihak kepada pesantren, khususnya jika ada klaster pesantren dan di beberapa daerah, pesantren sulit mengakses tes swab dan PCR.

"Mengingat pesantren adalah asset penting bangsa Indonesia, maka RMI PBNU meminta negara untuk hadir secara lebih serius dengan pola penanganan terpadu," katanya.

Gus Rozin berharap, Kementerian Kesehatan dapat menjadi lokomotif  dengan menggandeng Kementerian Agama, Pemerintah Daerah setempat dan ulama atau lembaga keagamaan yang otoritatif. Menurut dia, RMI sendiri siap menjadi partner strategis terutama terkait koordinasi dan komunikasi dengan pesantren.

"Secara teknis, penanganan terpadu dapat diwujudkan dalam bentuk pembentukan team task force untuk penanganan Covid-19 di Pesantren mulai tingkat pusat sampai kabupaten/kota," jelasnya.

Gus Rozin menuturkan, pendekatan terpadu ini harus diawali sejak proses pencegahan dengan edukasi  protokol kesehatan sampai penanganan jika ada kasus paparan Covid 19 di Pesantren. Jika ada kasus Covid-19, kata dia, pesantren sangat membutuhkan  pendampingan agar dapat mengambil keputusan yang tepat terkait keselamatan santri dan para pengasuhnya.

Selanjutnya, tambah dia, pesantren juga membutuhkan  akses ke dokter dan fasilitas kesehatan, kepastian tes swab dan PCR, serta dukungan ruangan isolasi atau karantina yang layak. Menurut dia, arus informasi publik terkait pemberitaan klaster pesantren juga perlu dikelola dengan baik dan berpihak pada pesantren, sehingga pesantren tidak terpuruk selama dan pasca pandemi akibat stigmatisasi Covid-19.

"Semua ikhtiar ini layak dan penting kita kerjakan bersama-sama demi memastikan masa depan pendidikan akhlak dan karakter bangsa," tutupnya.

 
 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement