Senin 14 Dec 2020 17:40 WIB

Begini Kiat Bicarakan Covid dan Prokes Kepada Orang Terdekat

Cara membangkikan kesadaran akan covid dan protokol kesehatan,

Rep: zainur mahsir ramadhan/Sapto Andika Candra/ Red: Muhammad Subarkah
Bapak tua termangu di depan kiosnya yang sepi dengan tetap menggunakan masker.
Foto: Republika.
Bapak tua termangu di depan kiosnya yang sepi dengan tetap menggunakan masker.

IHRAM.CO.ID, — Hampir di semua negara yang ada di dunia belakangan penyebaran Covid-19 terus meningkat. Seperti di Amerika Srikat misalnya, selain pandemi terus menyebar di sana tingkat kepatuhan protokol kesehatan terus menurun.

Akibatnya, kasus harian  Covid-19semakin melonjak. Hal tersebut terjadi sebagai cerminan begitu banyaknya warga yang tidak mengindahkan penggunaan masker, dari muda hingga tua.

Sebuah media di Amerika Serikat, NBC, misalnya menulis sebiah kisah dari Joel Hulser (70) warga yang berisiko tinggi terkena komplikasi Covid-19. Menurut sang anak, kini tak ada yang bisa dibicarakan lagi dengan ibunya menyoal penggunaan masker.

“Dia berubah dari memakai masker, menjadi tidak memakainya, sangat kesal ketika saya menanyakan apakah dia memakai masker,” kata Hulsey dikutip dari NBC, Senin (14/12).

 

Menurut direktur eksekutif Vaccinate Your Family Amy Pisani, yang merupakan organisasi nirlaba terbesar di negara itu mengatakan, empati memang cenderung ingin ditunjukkan pada awalnya. Oleh sebab itu, untuk membincangkan masalah protokol kesehatan seperti masker hingga vaksin, perlu dimulai dengan kisah pribadi.

‘’Mulailah dengan nilai-nilai yang Anda bagikan,’’ tambahnya.

Dia melanjutkan, menghargai orang yang menolak mengenakan protokol tetap harus dilakukan. Hal itu, kata dia, juga tergantung pada siapa berdasarkan pembicaraan tersebut.

"Anda mungkin memiliki satu orang yang berfokus pada rumor tertentu, atau Anda mungkin memiliki orang yang menginginkan lebih banyak data, jadi akan lebih baik untuk memberi mereka lebih banyak data,’’ ucapnya. Namun, menurut dia, menemukan nilai-nilai bersama itu juga bisa menjadi tantangan.

Terpisah, Steven Taylor, seorang psikolog klinis dan profesor di University of British Columbia di Vancouver, Kanada, mengatakan jika konfrontasi pasti akan gagal ketika berbicara dengan orang-orang yang telah jatuh ke lubang konspirasi. Hal itu, mengingat ada banyak sifat konspirasi dalam sifat manusia yang disebut reaktansi psikologis.

"Sederhananya, seperti reaksi alergi untuk diberitahu apa yang harus dilakukan. Kita harus memikirkan pesan yang tidak memicu reaktansi psikologis itu.”kata Taylor.

Sebaliknya, membicarakan tentang covid, vaksin hingga memakai masker, kata dia, akan lebih efektif untuk menemukan cara-cara non-konfrontatif dalam menarik orang-orang yang tidak secara terang-terangan menentang kebebasan mereka.

Taylor menyebut, konsep itu juga biasa dikenal sebagai ‘dorongan perilaku’. “Cara kita bereaksi hari ini - apakah itu anti-penyamaran atau orang yang mengalami kecemasan antisipatif berdasarkan bagaimana informasi menyebar - sangat mirip dengan bagaimana orang bereaksi satu abad yang lalu,” kata Taylor.

Kisah Anti Masker Saat Pandemi Flu Spanyl 1918.

Secara khusus Taylor menunjuk pada contoh-contoh seperti Liga Anti Masker di San Francisco, yang muncul selama pandemi flu Spanyol pada 1918 sebagai tanggapan atas peraturan kota. Saat itu ada gerakan  mewajibkan orang untuk memakai masker untuk memperlambat penyebaran virus.

Tetapi untuk semua kesamaan dan pemaksaan malah membuat pemberontakan sosial. Bahkan kemudian membuat ada penyebaran informasi yang salah. Situsi itu kini pun terjadi, bahan  menjadi lebih menantang di pandemi Covid-19 di tahun 2020.

"Adanya siklus perputaran berita dari media sosial telah menciptakan ruang gema dan memberi konsumen kemampuan untuk mengambil peran aktif dalam seberapa lazim sebuah berita. Ini terjadi di masa kini," kata Taylor.

Indonesia Waspadai 'Long Covid'

Satgas Penanganan Covid-19 mengingatkan masyarakat perlunya mematuhi protoko kesehatan terkait seriusnya ancaman infeksi virus corona. Hal ini ditegaskan Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Reisa Brotoasmoro. Bahkan, dia menyebutkan bila ada potensi munculnya fenomena 'long covid' atau efek jangka panjang yang akan dirasakan pasien meski sudah dinyatakan sembuh dari Covid-19.

"Para ahli juga khawatir dampak panjang covid di dalam tubuh orang yang tertular. Meski sembuh, namun dampak kesehatan pada penderita bisa bertahan lama. Kondisi long Covid19, suatu gejala yang masih dialami peyintas, seperti gejala seperti saat terinfeksi covid," kata Reisa dalam keterangan pers, Jumat (11/12).

Istilah long covid ini memang semakin populer setelah ada hasil penelitian mengenai post-covid syndrome. Kondisi ini menggambarkan adanya kondisi atau gejala yang muncul pada pasien yang sembuh dari Covid-19, dan bisa dialami selama berminggu-minggu atau bulan. Beberapa gejala yang dilaporkan, antara lain kelelahan kronis, sesak napas, jantung berdebar, nyeri sendi, nyeri otot, bahkan depresi.

"Ada fenomena yang disebut long covid. Kita berharap vaksin dapat menurunkan kesakitan dan kematia dan efektif membangun kekebalan tubuh terhadpavirus. Namun sekalipun vaksin ada, 3M lah tameng utama. Lindungi diri, lindungi keluarga, lindungi sesama," kata Reisa.

Reisa juga menyampaikan, ada kecenderungan penerapan protokol kesehatan yang mulai kendur dan longgar di tengah masyarakat. Protokol kesehatan yang dimaksud, terutama penggunaan masker, kebiasaan mencuci tangan, dan penerapan jaga jarak.

"Berdasarkan data ada kecenderungan penerapan 3M mulai kendur dan bahkan longgar. Akhirnya banyak terjadi penambahan jumlah kasus terutama sejak November hingga pekan pertama Desember," kata Reisa.

Reisa pun mengingatkan bahwa penerapan protokol kesehatan merupakan tameng utama untuk mencegah penularan Covid-19. Bahkan, ujarnya, bila program vaksinasi mulai berjalan pun, protokol kesehatan tetap menjadi senjata utama untuk mencegah penularan infeksi virus corona.

"Pelaksanaan 3M dengan benar masih menjadi tantangan sampai saat ini. Maka jangan lagi kita menambah kasus baru. Kasus aktif kita semakin tinggi. Waspada fasilitas di RS bisa kewalahan, tenaga medis bisa kelabakan, dan prestasi kita menyembuhkan pasien akan dipertaruhkan," kata Reisa.

 

 

 

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement