Kamis 17 Dec 2020 13:50 WIB

Peluang Bank Syariah Indonesia Jadi Penggerak Ekonomi Islam

Bank Syariah Indonesia berambisi masuk 10 besar bank syariah terbesar dunia

Rep: Anadolu/ Red: Elba Damhuri
Direktur Utama Bank Syariah Indonesia Hery Gunardi (tengah) didampingi Wakil Direktur Utama I Ngatari dan Wakil Direktur Utama II Abdullah Firman Wibowo berpose dalam sesi foto usai penandatanganan akta penggabungan tiga bank syariah milik Himbara di Jakarta, Rabu (16/12/2020).
Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
Direktur Utama Bank Syariah Indonesia Hery Gunardi (tengah) didampingi Wakil Direktur Utama I Ngatari dan Wakil Direktur Utama II Abdullah Firman Wibowo berpose dalam sesi foto usai penandatanganan akta penggabungan tiga bank syariah milik Himbara di Jakarta, Rabu (16/12/2020).

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Bank Syariah Indonesia (BSI), hasil merger tiga bank milik pemerintah yakni BRI Syariah, Bank Syariah Mandiri, dan BNI Syariah, berambisi masuk 10 besar bank syariah terbesar dunia dalam lima tahun.

Para pengamat menilai target ini hanya bisa tercapai jika bank bisa melakukan konsolidasi dengan baik dan transformasi digital secara masif.

Baca Juga

Irfan Syauqi Beik, ekonom dari Institut Pertanian Bogor (IPB) menilai bagian paling penting pasca-merger adalah konsolidasi sistem, teknologi dan sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki tiga bank tersebut.

Proses ini akan menentukan kemampuan dan daya saing bank hasil merger, terutama menghadapi bank-bank konvensional.

“Bank harus melakukan proses konsolidasi dengan baik agar bisa meningkatkan daya saing dan tidak kehilangan momentum,” ujar dia pada Anadolu Agency, Rabu.

Konsolidasi penting karena ketiga bank itu sebelumnya mempunyai nilai-nilai, SDM dan sistem digital yang berbeda.

Jangan sampai ada kesalahan, misalnya dalam pengelolaan SDM sehingga mengakibatkan munculnya gelombang PHK, meski hal itu tidak bisa dihindari karena bank dipastikan akan melakukan efisiensi, ujar Irfan.

Dorongan kebijakan pemerintah

BSI menurut Irfan juga masih membutuhkan dorongan kebijakan pemerintah.

Menurut dia, pemerintah bisa mendorong bank induk dari tiga entitas ini menyuntikkan tambahan modal inti, sehingga bisa mencapai Rp30 triliun, syarat untuk menjadi bank buku IV.

Modal inti yang dimiliki BSI, kata Irfan masih sekitar Rp20 triliun, sehingga masih belum bisa beranjak dari status bank buku III.

Pemerintah juga perlu melakukan kebijakan afirmasi, yaitu dengan sengaja memberi ruang gerak lebih besar pada bank syariah, ujar Ifran.

Misalnya, kata Irfan mewajibkan perguruan tinggi Islam milik pemerintah dan kementerian agama melakukan aktivitas keuangan di BSI.

Selain itu bisa juga dengan mewajibkan perusahaan di kawasan industri halal bertransaksi dengan bank syariah.

Jumlah mahasiswa, pegawai kementerian agama dan transaksi perusahaan yang besar diyakini bisa meningkatkan kinerja bank.

“Hal lain yang bisa dilakukan adalah melibatkan bank syariah dalam proyek berbasis APBN. Ini bisa menaikkan volume transaksi,” ujar dia.

Irfan memproyeksikan dengan konsolidasi dan dukungan kebijakan yang tepat, BSI bisa menaikkan aset dari saat ini Rp214 triliun menjadi Rp390-Rp500 triliun dalam lima tahun.

“Artinya bank hasil merger ini bisa mengakselerasi pertumbuhan bank syariah di Indonesia.”

Kebijakan afirmatif ini menurut Irfan pantas dilakukan karena sejak kemunculan bank syariah pertama kali 29 tahun lalu, pemerintah belum banyak mengambil peran.

Perkembangan bank syariah hingga kini menurut dia terjadi secara organik berdasarkan permintaan pasar, tanpa intervensi pemerintah. 

Tantangan permodalan

Fauziah Rizki Yuniarti, peneliti ekonomi syariah Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengatakan tantangan utama bank syariah di Indonesia adalah permodalan.

Kesulitan modal ini menurut dia membuat bank syariah tidak bisa melakukan digitalisasi model bisnis dan layanan.

“Bank jadi tidak sanggup melakukan investasi teknologi informasi yang massif untuk bersaing dengan perbankan konvensional dan fintech,” ujar dia.

Selain itu bank syariah juga kesulitan mendapatkan serta menyalurkan dana murah ke masyarakat, karena masih menjadi bank buku III, berbeda dengan bank buku IV dengan modal yang lebih besar.

“Akibatnya tidak mampu memberikan rate atau pricing yang menarik dan kompetitif dibanding dengan bank konvensional dalam memberikan pendanaan proyek-proyek besar,” ujar dia.

Menurut Fauziah, ada beberapa program yang bisa menjadi terobosan bank syariah untuk memaksimalkan pertumbuhannya.

Antara lain dengan memberikan layanan mobile apps yang bisa bersaing dengan bank konvensional dan fintech.

Selain itu bank syariah harus bisa memaksimalkan kecerdasan buatan dalam layanannya, misal face recognition, e-signature, e-KCY (electronic know your customer) untuk mempermudah proses penyaluran pinjaman.

Khusus bank hasil merger, menurut dia mempunyai peluang menggaet investor asing terutama dari Timur Tengah untuk membantu permodalan sehingga bisa naik menjadi bank buku IV.

Kedua pengamat, Irfan dan Fauziah, sepakat soal pentingnya bank syariah hasil merger ini tetap memperhatikan Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM) sebagai salah satu cara mengakselerasi pertumbuhan.

Menurut Fauziah program pembiayaan ini tidak sekadar memenuhi aturan Bank Indonesia soal kewajiban penyaluran 20 persen bagi UMKM, tapi harus ada porsi yang seimbang dan tidak hanya fokus pada konglomerat.

Sedangkan Irfan mengingatkan bahwa bisnis inti BRI Syariah, yang merupakan surviving entity dalam proses merger ini adalah pembiayaan UMKM.

“BRI Syariah itu jiwanya adalah melayani UMKM. Komitmen pada UMKM tidak boleh ditinggalkan,” ujar Irfan.

 

 

sumber : Anadolu/Republika.co.id
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement