Senin 21 Dec 2020 06:49 WIB

Kita dan Arab, Kita dan Timur Tengah

Pemahaman Barat dan kita tentang sejarah dan peradaban Arab masih sangat rendah.

Rep: Suara Muhammadiyah/ Red: Elba Damhuri
Barat dan sebagian publik global masih tidak memahami dunia Arab secara baik
Foto: Al Arabiya
Barat dan sebagian publik global masih tidak memahami dunia Arab secara baik

Oleh : Hajriyanto Y Thohari

REPUBLIKA.CO.ID -- Oleh Hajriyanto Y Thohari, Mantan Wakil Ketua MPR RI (2009-2014)/Ketua PP Muhammadiyah (2015-2020)

Ketika mengantarkan bukunya History of The Arab: From the Earliest Times to the Present (1968), sebuah buku yang dinilai banyak pihak sebagai pembentuk infrastruktur pengetahuan untuk memahami berbagai perkembangan terkini di dunia Arab, Philip K. Hitti, sang penulis, mengatakan sebenarnya publik Amerika, bahkan yang terpelajar sekalipun, hampir tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang bangsa Arab.

Baca Juga

Begitulah situasinya hingga Perang Dunia II.  Baru setelah berakhirnya perang, pemerintah dan publik Amerika mulai  menyadari bahwa ada jutaan bangsa Arab yang perlu mereka pahami agar dapat berinteraksi dengan mereka.

Tiga dasawarsa kemudian, sangatlah mengejutkan, situasi seperti itu ternyata belum banyak berubah. Profesor Walid Khalidi, waktu itu anggota senior Pusat Kajian Timur Tengah, Universitas Harvard, dan Anggota Akademi Seni dan Ilmu Pengetahuan Amerika, ketika memberikan Kata Pengantar edisi revisi ke-10 (2002) untuk magnum opus–nya Philip K. Hitti itu, masih juga mengatakan hal yang sama: bahwa pada saat ini (baca: 2002) tingkat pemahaman masyarakat Barat secara umum tentang sejarah dan peradaban Arab ternyata masih sangat rendah. 

Gejala ini terlihat hampir setiap hari dalam sajian media, baik cetak maupun elektronik, dan sering tercermin dalam generalisasi menyesatkan yang disampaikan oleh para pemegang otoritas dan pejabat senior Barat.

Maka merupakan truisme belaka ketika Nurcholish Madjid, cendekiawan muslim terkemuka yang dikenal pengetahuannya sangat ensiklopedis, menerbitkan sebuah tulisan dengan judul “Mengikis Kesalahpahaman Terhadap Bangsa Arab” dalam bukunya Kaki Langit Peradaban Islam (Jakarta, Paramadina: 1997, hal 197-201). Sebagaimana judulnya, Cak Nur mengatakan bahwa Bangsa Arab dalam dekade terakhir ini adalah bangsa yang paling banyak disalahpahami.

Sarwa agama

Saya rasa situasi kesalahpahaman seperti ini masih juga terjadi pada publik Indonesia sekarang ini. Kalau kita mengikuti dengan komentar-komentar di media, terutama media social, tentang Arab maka kita akan menyimpulkan bahwa persepsi publik Indonesia tentang Arab sangatlah superfisial dan impresif (lebih berdasarkan perasaan) belaka. Impresi inipun,  fatalnya, terlalu berorientasi agama (religion oriented). Dengan kata lain publik Indonesia memandang Arab dalam perspektif yang terlalu monolitik agama, bahkan cenderung terlalu bias agama.

Kecenderungan cara melihat dunia Arab yang sarwa agama ini mungkin disebabkan karena faktor bahwa dunia Arab merupakan tempat lahir dan pusat tiga agama besar dunia: Yahudi, Kristen, dan Islam. Orang yang berkunjung ke dunia Arab kebanyakan juga dalam konteks ziarah keagamaan: umat Yahudi ke Tembok Ratapan, umat Kristen ke Yerusalem (baca Trias Kuncahyono, Pilgrim, Penerbit Buku Kompas, 2017), dan umat Islam haji atau umrah ke Makkah dan Madinah, serta juga ziarah ke Masjidil Aqsha di Yerusalem. 

Semua destinasi itu berada di dunia Arab. Oleh karena itu tidak lah heran jika setiap pergolakan yang terjadi di sana, benar atau salah, dikaitkan, atau dikait-kaitkan, dengan agama. Dan karena penganut agama Islam di dunia Arab dan Timur Tengah sekarang ini yang terbesar jumlahnya maka identifikasi Arab sebagai Islam menjadi sedemikian kuatnya menancap dalam impresi publik Indonesia.

Memang, meski lebih sebagai kesan daripada kenyataan, ada pandangan yang sangat kuat tentang kesejajaran antara keislaman dan kearaban. Pandangan yang sebenarnya lebih sebagai kesan dari pada kenyataan ini bukan hanya menancap di dalam impresi umat Islam belaka, melainkan juga di kalangan non-Islam. Dr. Anton Wessels, seorang Teolog Kristen dan guru besar di Vrije Universiteit, Amsterdam, dalam bukunya Arabier an Christen: Christelijke kerken in het Midden-Oosten (1983), juga mengabadikan kesan serupa, meskipun kemudian dia mencoba mengklarifikasinya.

Dalam bukunya yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia Arab dan Kristen: Gereja-Gereja Kristen di Timur Tengah (terj. Tati S.L. Tobing-Kartohadiprojo, BPK Gunung Mulia, Cet Kedua, 2002), Wessels mengatakan bahwa “Banyak orang yang begitu mendengar sebutan orang Arab pikirannya segera terarah pada orang Islam”. Bahkan, setiap membaca atau mendengar Bahasa Arab segera terbayang kata Islam. Tak heran jika Wessels sampai mengingatkan adanya sebuah ungkapan yang sangat terkenal yang mengatakan bahwa “Bahasa Arab tak dapat dikristenkan”.

Padahal pada kenyataannya bahasa Arab, yang sering disebut “Bahasa Islam” itu, juga menjadi bahasa orang-orang Arab Kristen, seperti Kristen Maronis di Lebanon, Ortodoks di Syria, Koptik di Mesir (yang secara numerikal jumlahnya cukup besar), bahkan juga bahasa orang-orang Yahudi yang tinggal dan menjadi warga negara di negara-negara Arab. 

Orang-orang Kristen di Lebanon dan Suriah yang jumlahnya cukup besar itu sudah ter-Kristenkan sejak mereka menjadi satelit Kerajaan Rumawi pada jaman kaisar Konstantin, yang artinya jauh sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW. Tak heran jika kita membaca novel Amin Maalouf, Cadas Tanios (1993), yang mendapatkan penghargaan Prix Goncourt (1993) dan Grand Prix des Lecteurs (1996) itu, tampak betapa banyak desa di Lebanon yang menjadi latar novel itu begitu kental dengan suasana ke-Kristenan.

Meski secara persentase kecil tetapi secara numerikal jumlah penganut Kristen di negara-negara Arab cukup besar. Dan kenyataannya komunitas Kristen di dunia Arab, berkat toleransi Islam, tetap kuat sampai sekarang. Bahkan, jangan terkejut, secara politik, ekonomi  dan intelektual kedudukan mereka di negara-negara Arab juga cukup kuat. 

Nama-nama penulis seperti Philip K. Hitti, Albert Haourani, Amen Maalouf, di samping nama-nama seperti Constantin Zuraik, Shibli Shumayl, Salamah Musa, Machael Aflaq, Farah Antun, dan Edward Said, adalah sebagian saja dari nama-nama intelektual dan aktifis politik papan atas di dunia Arab yang menganut Kristen.

Tidak banyak publik Indonesia yang tahu bahwa Tariq Azis, Menteri Luar Negeri Irak yang fenomenal dalam beberapa periode di era Presiden Sadam Husein, adalah penganut Kristen. Demikian juga Butros Gali, menlu Mesir yang kemudian menjabat Sekretaris Jenderal PBB: adalah seorang penganut Kristen Koptik. 

Hanan Asrawi, tokoh perempuan dan juru bicara PLO yang tangkas selama kepemimpinan Yaser Arafat itu, sebagaimana juga George Habbas dan tokoh-tokoh gerakan pembebasan Palestina garis keras yang banyak dituduh mengunakan metode kekekerasan –yang belakangan disebut “terorisme”– dalam perjuangannya, seperti Nayef Hawatmeh dan George Abbas adalah  pejuang andal Palestina yang nota bene penganut Kristen.

Lantas pertanyaannya adalah mengapa publik kita selalu dengan gampang mengidentikkan Arab dengan Islam? Fatalnya, atau bahkan tragisnya, aspek yang paling sering dikaitkan dengan Islam adalah yang negatif semata: perang, konflik, terorisme, sektarianisme, dan yang sejenisnya.

Tidak homogen dan monolitik

Sangat meyakinkan pandangan para pengamat yang terlalu agama menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang terlalu agama pula. Fatalnya, kesimpulan-kesimpulan seperti itulah yang diikuti oleh publik Indonesia. Tak heran jika pandangan kalangan awam lebih parah lagi: mereka tidak tahu bahwa semua negara Arab itu, kecuali kawasan Hijaz, Saudi Arabia, secara sosial sangat lah terfragmentasi; secara kultural sangat lah majemuk atau multikultural; dan secara politik sekuler. Singkatnya, dunia Arab bukanlah entitas yang homogen dan monolitik, melainkan heterogen dan pluralistik.

Saking pluralistiknya dunia Arab Halim Barakat dalam bukunya The Arab world: Sosiety, Culture, and State (University of California Press, 1993), sampai menamakan judul bab 3 dari bukunya dengan Arab Identity: E Pluribus Unum. Profesor Sosiologi yang malang melintang dalam penelitian di dunia Arab ini mengatakan bahwa memang terdapat berbagai elemen pemersatu orang Arab seperti bahasa (Arab), geografi atau persamaan sejarah, tetapi yang lebih kuat adalah elemen-elemen fragmentasi seperti tribalisme, solidaritas etnik, syu’ubiyah, lokalisme atau regionalisme.

Artinya, orang-orang Arab bisa menjadi satu kesatuan tanpa perlu menjadi seragam, dan sebaliknya mereka bisa memiliki relasi antagonistik tanpa perlu menjadi berbeda.

Publik Indonesia cenderung tidak tahu bahwa dunia Arab sekarang ini lebih sebagai kumpulan negara-bangsa yang merdeka yang semakin menegaskan perbedaan dan identitas pemisah di antara mereka. Masyarakat Arab adalah mozaik sekte-sekte, kelompok etnis, suku, komunitas lokal, dan entitas regional. 

Memang masyarakat Arab, seperti dikatakan oleh Halim Barakat, menyimpan potensi persatuan karena persamaan bahasa, tetapi sebenarnya yang lebih besar lagi adalah potensi perbedaan. Terlebih lagi setelah masuknya era nation-state: dunia Arab bukanlah entitas yang homogen dan tidak lagi merupakan entitas politik yang monolitik.

Banyak orang tidak mengerti bahwa apa yang disebut sebagai dunia Arab itu sekarang ini terdiri dari hampir tiga puluh negara yang membentang dari Maroko di Afrika Utara sampai Irak di Asia Barat masing-masing dengan sistem politik yang beraneka ragam dan spektrum ideologi politik yang sangat lebar. 

Ada yang monarki,  seperti Arab Saudi, Yordania, dan Maroko; ada yang keamiran (emirate), seperti Uni Emirat Arab dan negara-negara Arab Teluk seperti Kuwait, Qatar, Bahrain, Oman, di satu pendulum; dan ada pula yang berbentuk republik seperti Lebanon, Aljazair, Tunisia, Libya, Mesir, Irak, Yaman, Sudan, dan Suriah, di pendulum yang lain. 

Ada yang demokratis dan ada pula yang otoritarian. Posisi agama dalam negara pun juga berbeda satu dengan yang lain.  Satu hal yang pasti adalah bahwa tidak satupun yang merupakan negara teokrasi.

Walhasil, pernyataan-pernyataan yang mengatakan dengan nada negatif    seperti “Indonesia bukan Arab”, “Jangan impor Islam Arab”, atau, “Jangan jadikan Indonesia Arab”, mengasumsikan bahwa apa yang disebut Arab itu merupakan entitas keagamaan yang monolitik. Asumsi tersebut jelas lahir dari ketidakmengertian mereka tentang Arab dengan segala dinamika dan pergumulan ideologi yang terus berlangsung di sana. 

Walhasil, pernyataan itu bukan hanya pernyataan naif, melainkan juga menimbulkan pertanyaan: Arab yang mana yang dimaksudkannya itu? Dunia Arab itu sangatlah majemuk.

 

Konten Artikel Ini Merupakan Kolaborasi Republika dengan Suara Muhammadiyah dengan Link Asli Klik di Sini

sumber : Suara Muhammadiyah
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement