Kamis 24 Dec 2020 15:28 WIB

Mengejar Taliban di Lahore

Kisah mengunjungi Lahore, Pakistan

Masjid Badshahi, Lahore Pakistan.
Foto: Muhammad SUbarkah
Masjid Badshahi, Lahore Pakistan.

IHRAM.CO.ID, oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Udara pagi Lahore masih terasa jekut suam-suam kuku. Musim semi baru menapaki ujung. Tapi warga sudah mulai sibuk lalu-lalang. Di jalanan keledai yang menarik pedati hingga bemo dan sepeda motor sudah mulai berebut jalan.

 

“Kita mesti ke masjid merah. Nanti setelah siang baru ke Taman Shalimar,’’ kata temanku Hasif (bukan nama sebenarnya), sembari duduk minum teh di beranda hotel ‘Kubilai Khan’. Dia ku kenal saat di Jogja. Dia asalnya dari Lamongan dan kini menjadi staf kedubes Indonesia di sana.

 

‘’Apa lebih baik kita cari Taliban saja?’’ kataku meledeknya. Mendengar itu dia pun tertawa lepas. Lalu dia menukas pendek.

 

’’Di sini semua anak kecil itu Taliban. Kalau di Jawa itu sama saja dengan santri. Taliban itu artinya pelajar tak beda dengan santri. Kalau kita ke masjid itu akan lihat buktinya,’’ tegas Hasif.

 

Aku pun tersenyum saja melihat emosi dari Hasif yang datar ketika mendengar kata Taliban disebut. Beda dengan banyak orang yang selalu gelisah ketika disebut kata Taliban, Hasif malah cuek saja. Dia malah sibuk berkelakar.

 

"Ayolah kita pergi ke masjid merah atau Badsahi itu. Kereeeen. Nanti di tengah jalan aku tunjukin di mana dahulu apartemen yang menjadi tempat hunian Hambali ketika belajar di sini,’’ kata dengan nada ringan.

 

Kami bersiap berangkat. Namun tiba-tiba di dekat kami masuk tiga orang bercambang dan berbaju khas Pakistan. Dia saat itu riuh berbicara dengan bahasa Urdu.

 

Sesaat kami pun terdiam sembari mengingat begitu banyak kata yang akrab ditelinga yang terdengar di percakapan riuh itu, seperi kata ‘Aca, baba, nehi, putra, dan lainnya. Dan tanpa dinyana tiba-tiba mereka menyapa kami.

 

‘’Hai brother, Where are you from? Kuala Lumpur?.’’ tanyanya

 

‘’No, Indonesia,’’ tukasku.

 

“Hah Jakarta? Ya ya ya. Merdeka ha ha ha’’ jawabnya.

 

Entah mengapa kata ‘Merdeka’ diucapannya. Tapi kemudian dia berkata bila kata Merdeka itu sama saja dengan bahasa Sansekerta: Mahardika.

 

‘’Ya saya beberapa kali ke Jakarta, Ke pelabuhan ratu, parang tritis, hingga Alor?”

 

“Untuk apa? tanyaku lagi.

 

“Mengantar orang ke Australia, naik perahu,’’ jawabnya.

 

Begitu mendengar jawaban itu saya langsung ingat fotografer kelas Internasioal, Om Ahmad Deni Salam yang punya obsesi membuat dokumentasi dengan ikut perahu bersama-sama imigran gelap Asia yang akan ke Australia. Entah sampai sekarang tidak ada kabar apakah hal itu sudah dilakukan atau tidak?

 

Dan yang penting lagi, ucapan itu sama persis dengan obrolan di Masjidil Haram dengan seorang jamaah umrah dari Pakistan. Dia sempat bercerita pernah ke Australia dengan menumpang perahu dari Pelabuhan Ratu, Sukabumi.

 

‘’Dari Pelabuhan Ratu kami menuju ke kepulauan Alor di perbatasan NTT dan Australia. Dari sana kemudian baru masuk ke perairan Australia. Lalu mendarat di Darwin....’’

 

Mengingat semua itu saya hanya diam tercenung. Tapi kemudian tersentak dengan tarikan tangan Hafiz yang mengajaku pergi.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement