Ahad 27 Dec 2020 10:42 WIB

20 Dokter di Nigeria Meninggal Akibat Covid-19

Banyak dokter di Nigeria tidak memiliki akses ke Alat Pelindung Diri (APD).

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Fuji Pratiwi
Ilustrasi virus corona. Setidaknya 20 dokter meninggal di Nigeria pekan lalu setelah terinfeksi virus corona.
Foto: MgIT03
Ilustrasi virus corona. Setidaknya 20 dokter meninggal di Nigeria pekan lalu setelah terinfeksi virus corona.

REPUBLIKA.CO.ID, ABUJA -- Setidaknya 20 dokter meninggal di Nigeria pekan lalu setelah terinfeksi virus corona. Penyakit asal Wuhan, China itu menjadi wabah global pada tahun ini.

"Bagi kami di bidang kesehatan, kami kehilangan cukup banyak rekan kerja. Di seluruh negeri, kami telah kehilangan tidak kurang dari 20 dokter dalam satu pekan terakhir," tulis Asosiasi Medis Nigeria (NMA) dilansir dari kantor berita Bernama pada Ahad (27/12).

Baca Juga

Menurut laporan NMA, banyak dokter di Nigeria tidak memiliki akses ke Alat Pelindung Diri (APD) sebelum merawat pasien Covid-19. Lebih dari 1.000 petugas kesehatan di Negeria memang dilaporkan terinfeksi Covid-19. 

Pada 2 Juni lalu, 812 petugas kesehatan di Nigeria dinyatakan positif Covid-19, menurut Menteri Kesehatan Osagie Ehanire. Kemudian pada Juli, lebih dari 10.000 petugas kesehatan di 40 negara di benua Afrika terinfeksi berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). 

Sejak infeksi virus ini pertama kali dilaporkan pada Maret, pihak berwenang Nigeria telah mengkonfirmasi 1.242 kematian, 81.963 kasus infeksi, dan 69.651 pemulihan di 36 negara bagian dan Wilayah Ibu Kota Federal, menurut angka yang dirilis oleh Pusat Pengendalian Penyakit Nigeria (NCDC). Negara itu telah mengalami gelombang kedua pandemi. Lonjakan infeksi telah terlihat di negara terpadat di Afrika itu hingga menyebabkan enam orang tewas dan 1.041 terinfeksi pada Kamis (24/12) menurut NCDC. 

Diketahui, Covid-19 pertama kali dilaporkan di Wuhan, China, Desember lalu sebelum menyebar secara global. Lebih dari 79,7 juta orang telah terinfeksi dengan 1,74 juta kematian, menurut Universitas Johns Hopkins yang berbasis di AS. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement