Kamis 31 Dec 2020 17:26 WIB

Kisah Pemerintah Kolonial Kala Phobia Pada Sebutan Khilafah

Kala kolonial phobia kepada kalimat khilafah dan kebangkitan Islam

Suasana masyarakat dalam dinasti Ottoman.
Foto: wikipedia
Suasana masyarakat dalam dinasti Ottoman.

REPUBLIKA.CO.ID -- Setiap kali membaca sejarah hubungan antara kebangkitan Islam dan perjuangan melawan kolonial itu selalu menarik. Apalagi saat ini sudah ada hasil skripsi yang sangat baik dari Muhammad Nicko Trisakti Pandawa.

Pengajar Ilmu Sejarah Peradaban Islam UIN Jakarta, DR Imas Emilia, memuji habis skripsi Nicko. Katanya, meski hanya skrispi tapi kajiannya sangat komplet.

Nicko memang mencari dan mengumpulkan sendiri bahan-bahan skripsinya sangat baik. Dan bila dicermati dia berburu data skrispinya yang berjudul 'Pasang dan Surut Pengaruh Pan-Islamisme Khilāfah ‘Uṡmāniyyah Terhadap Rakyat Hindia Belanda, 1882-1928' sampai ke Mesir dan Turki dengan melibatkan bantuan dari tema-temannya yang belajar di Mesir dan Turki.

''Nicko hebat betul. Dia menulis dengan data lengkap. Mencari data sendiri keberbagai tempat hingga ke banyak negara. Kualitas skripsinya ini potensial jadi sebuah disertasi nanti,'' kata DR Imas Emilia dalam sebuah perbincangan.

 

Dan dalam soal kajian hubungan kolonial Belanda dan soal politik di kalangan umat Islam pun sebenarnya sudah banyak dikaji. Salah satu yang monumental dan menjadi peletak dasarnya adalah disertasi DR Aqib Suminto kala menulis disertasi di Universitas Leiden Belanda pada tahun aqal tahun 1980-an: 'Politik Islam Hindia Belanda'.

Tapi agak berbeda dengan Aqib, Nicko menuliskajiannya dengan lebih khusus dan mengundang perhatian. Dia berani menuliskan kata Khilafah dalam skripsinya. Adanya kata ini memang mengejutkan karena pada saat sekarang jelas sekali ada 'phobia' kepada kata ini seolah-olah sebagai sebutan yang berkonotasi buruk sekali.

Nah, apa yang ditulis Nicko dalam pengantar kajiannya kemudian bisa dicermati secara sekilas latar belakang mengapa pemerintah kolonial kala itu begitu ketakutan pada gerakan yang disebut sebagai kebangkitan Islam politik.

Ini menjadi penting dan masuk akal, sebab kala itu kolonial Belanda sudah punya garis yang tegas seperti dinasihatkan oleh Snuck Hurgronje. Kebijakannya adalah kalau sekedar Islam hanya sebagai bentuk ibadah ritual semata tak dipersoalkan. Namun, kala sudah menjadi ekpresi apalagi gerakan politik maka harus segera dimatikan atau ditumpas.

Mari kita nikmati awalan dari skripsi Nicko tersebut. Kami memuatnya begitu saja dengan menghilangkan bagian catatan kakinya:

----------

Pada 22 Agustus 1873, Kementerian Luar Negeri Belanda yang berkedudukan di Den Haag mengirim sebuah edaran yang ditunjukkan kepada para konsulnya di negeri-negeri Islam untuk melaporkan gejala “kebangkitan agama dan politik” di kalangan kaum Muslim.

Wajar saja jika Pemerintah Belanda merasa awas, karena memang saat itu kekuasaan yang dianggap paling tinggi di seluruh dunia Islam, Khilāfah ‘Uṡmāniyyah, sedang melancarkan politik Pan-Islamisme (İttiḥat-ı İslam) baik untuk Muslim yang ada dalam teritorialnya maupun yang berada di bawah penjajahan Eropa.

Dalam konteks kekuasaan atas tanah jajahan, Belanda begitu khawatir dengan gencarnya arus Pan-Islamisme yang melanda rakyat Hindia-Belanda.

Kekhawatiran itu dirasakan betul tatkala Belanda mendeteksi pengaruh Pan-Islamisme Khilāfah ‘Usmāniyyah secara langsung, apalagi semenjak Khilāfah ‘Usmāniyyah menempatkan konsul-konsulnya di Batavia dari tahun 1882 sampai 1924.

Belanda amat keberatan dengan pembukaan konsulat Khilāfah di wilayah jajahan mereka, karena dikhawatirkan para konsul ‘Uṡmāniyyah  (Osmanlı şehbenderleri) akan membangkitkan “fanatisme yang penuh dendam dan mudah terbakar” di kalangan penduduk terjajah.

Dari ‘fanatisme Islam’ yang dimaksud Belanda itu, efeknya akan merongrong kekuasaan mereka di tanah Hindia-Belanda. Mana ada penguasa yang ingin kekuasaan yang sedang dinikmatinya itu tumbang? Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936) membeberkan potensi Pan-Islamisme untuk menumbangkan kekuasaan Belanda, 

 

  • Meskipun Pan-Islamisme belum tersusun rapi, tetapi di negeri- negeri Islam di bawah kekuasaan Eropa ia sering merintangi perkembangan biasa hubungan bersahabat antara si penjajah dan yang dijajah. Mengandalkan diri pada adanya rasa ketidakpuasan di segala bidang, dengan diam-diam ia beraksi sebagai unsur pengganggu, tanpa adanya harapan bahwa perpecahan yang ditimbulkan atau diperbesar, bisa menghasilkan perbaikan bagi mereka.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement