Selasa 05 Jan 2021 23:35 WIB

KH Abdurrahim Nur, Sosok Sufi Muhammadiyah Perekat Umat

KH Abdurrahim Nur dikenal sebagai sosok yang tawadhu dan rekatkan umat

Rep: Muhyiddin/ Red: Nashih Nashrullah
KH Abdurrahim Nur dikenal sebagai sosok yang tawadhu dan rekatkan umat.
Foto: Dok Istimewa
KH Abdurrahim Nur dikenal sebagai sosok yang tawadhu dan rekatkan umat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –  Selama hidupnya, KH Abdurrahim Nur, telah mewariskan banyak keteladanan. Aktivitas dakwahnya akhirnya berhenti setelah dipanggil oleh Allah SWT pada 29 Mei 2007.

Pada awal era reformasi, Kiai Abdurrahim sempat diminta untuk menjadi Ketua PAN Jatim periode awal. Namun, dakwah politiknya tidak berlangsung lama. Kepemimpinannya di PAN berakhir dengan usainya Pemilu 1999, dan kembali memimpin Muhammadiyah. Pada masa selanjutnya, ia kemudian diminta untuk menjadi panasihat Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada periode 2005-2010.

Baca Juga

Tawadhu merupakan sifat orang-orang saleh. Sifat ini juga terdapat dalam diri KH Abdurrahim Nur. 

Bicaranya lembut, santun, rendah hati. Serta menjauhkan diri dari takabur dan keangkuhan hati. 

 

Keulamaan dan kesederhanaannya sangat dihormati sekaligus menjadi tumpuan keluh kesah dan harapan umat. Meskipun ulama karismatik ini telah pergi untuk selamanya, tapi sejumlah kenangan indah tetap terpatri di hati umatnya.

Selama hidupnya, Kiai Abdurrahim dikenal sangat getol melakukan dakwah. Baik melalui kegiatan sosial keagamaan seperti pengajian dan penyantunan anak-anak yatim di rumahnya, maupun melalui persyarikatan. 

Di mata para sahabatnya, Kiai Abdurrahim dikenal sebagai ulama yang santun dan sederhana. Ia memiliki banyak santri, murid, dan pengagum. 

Kiai Abdurrahim bisa saja memanfaatkan semua itu untuk kepentingan dirinya, baik keuntungan materi maupun non-materi seperti membangun kharisma, pengaruh, dan kultus agar kebesaran dirinya terus naik.

Namun, Kiai Abdurrahim tidak membiasakan diri untuk sekadar dicium tangannya oleh para santri dan pengagumnya. Ia selalu berada di barisan paling depan dalam gerakan pemurnian tauhid dan memberantas sikap pengultusan kepada seseorang. Padahal, Kiai Abdurrahim berasal dari subkultur tradisional.

Dalam pengantarnya di buku berjudul “Pergumulan Tokoh Muhammadiyah Menuju Sufi”, Prof A  Syafi’i Ma’arif menggambarkan sosok KH Abdurrahim Nur. 

Menurut dia, Uustadz Abdurrahim Nur adalah sosok pribadi yang mempunyai magnet tersendiri bagi para penggemar dan pengagumnya.

“Namun bagi Ustadz kita ini, dikagumi atau tidak bukan urusannya. Yang penting baginya, pesan risalah nabi disampaikan secara bijak melalui pengajaran yang baik, dan bila berdialog dilakukannya dengan penuh kesopanan,“ tulis Syafi’i.

Selain itu, Kiai Abudurrahim juga memiliki beberapa pemikiran baru dalam bidang keagamaan yang berbeda dengan pendapat yang lazim di tengah masyarakat. Misalnya, pendapat tentang tasawuf dan takdir, dua hal yang sebenarnya sensitif karena menyangkut aqidah.

Dalam artikel berjudul “KH Abdurrahim Nur dan Sufisme Muhammadiyah”, Nadjib Hamid mengatakan, banyak orang memandang kesufian dengan mengukur pada ketekunannya berdzikir, bahkan sampai “mabuk” atau melakukan penolakan pada kekayaan dan kehidupan duniawi.

Namun, menurut Kiai Abdurrahim, ukuran sufi adalah pada sikap seseorang yang menerima, menyerah, tunduk dan patuh sepenuhnya kepada ketentuan Allah SWT. 

Tauhidnya juga murni sesuai ketentuan Allah. Ibadahnya sesuai yang dicontohkan Nabi, tidak dikurangi atau ditambah-tambah. Itulah perilaku seorang sufi menurut Kiai Abdurrahim Nur.

Dalam masalah takdir, menurut Nadjib Hamid, pemahamannya mendorong umat menjadi manusia dinamis, tidak gampang menyerah, tidak berpangku tangan dan hidup penuh tanggung jawab. 

Baginya, takdir bukan sikap pasif menunggu. Karena takdir adalah ukuran, ketentuan yang menjadi peraturan dan undang-undang terhadap terjadinya segala sesuatu yang dituangkan dalam bentuk sebab akibat. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement