Jumat 15 Jan 2021 20:10 WIB

OKI Dukung AS Tunjuk Houthi Sebagai Kelompok Teror

OKI menilai Houthi memang ancaman bagi keamanan internasional

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Christiyaningsih
Kelompok pemberontak Houthi Yaman mengumumkan mobilisasi perangi Covid-19. Ilustrasi.
Foto: Anadolu Agency
Kelompok pemberontak Houthi Yaman mengumumkan mobilisasi perangi Covid-19. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) menyambut keputusan Amerika Serikat (AS) menetapkan kelompok pemberontak Houthi di Yaman sebagai kelompok teror. OKI menilai Houthi memang ancaman bagi keamanan internasional.

"Ini adalah langkah penting untuk memperkuat upaya yang diarahkan untuk memerangi terorisme dan membendung pembiayaannya di tingkat internasional dan regional, karena pemberontak teroris ini, yang didukung oleh entitas serta kelompok regional, menimbulkan risiko nyata bagi perdamaian dan keamanan internasional," ujar Sekretaris Jenderal OKI Yousef A. Al-Othaimeen dalam sebuah pernyataan pada Kamis (14/1) dikutip laman Anadolu Agency.

Baca Juga

Menurut dia, ditunjuknya Houthi sebagai kelompok teroris akan mendorong Utusan Khusus PBB untuk Yaman Martin Griffiths mencapai solusi politik guna mengakhiri krisis di negara tersebut. Sebab langkah AS mencantumkan Houthi dalam daftar "Organisasi Teroris Asing" akan memaksa para pemimpinnya untuk terlibat dalam negosiasi perdamaian yang serius.

Awal pekan ini, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo menunjuk Houthi sebagai Foreign Terrorist Organization (FTO) dan Specially Designated Global Terrorist (SDGT). Pompeo menyebut penetapan itu akan berlaku pada 19 Januari.

Namun langkah tersebut dikritik PBB. Martin Griffiths dan Kepala Bantuan Kemanusiaan PBB Mark Lowcock meminta AS membatalkan penunjukan tersebut. Mereka khawatir keputusan Washington dapat memperdalam krisis kemanusiaan di Yaman.

Pada Desember lalu Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) mengatakan dalam enam tahun terakhir konflik Yaman telah menyebabkan 233 ribu orang tewas. OCHA menilai jumlah korban sangat disayangkan dan tidak dapat diterima.

OCHA mengatakan jumlah korban merupakan akumulasi, yakni mereka yang tewas langsung dalam konflik atau karena alasan yang terkait dengannya. OCHA menilai Yaman telah mencapai titik kritis dan ada kebutuhan mendesak untuk gencatan senjata segera.

Konflik sipil di Yaman telah berlangsung sejak 2014. Peperangan kian mengganas sejak Arab Saudi melakukan intervensi militer ke negara tersebut pada Maret 2015.

Riyadh berupaya menumpas Houthi dan mengembalikan pemerintahan Presiden Abed Rabbo Mansour Hadi yang diakui secara internasional ke tampuk kekuasaan. Saudi memandang Houthi sebagai ancaman karena didukung Iran.

Sejak saat itu, Saudi gencar melancarkan serangan udara ke Yaman. Peperangan telah menyebabkan banyak sekolah, rumah sakit, dan fasilitas publik lainnya hancur. Konflik memicu jutaan warga kelaparan. Akses ke fasilitas atau layanan kesehatan semakin sulit. PBB telah menyebut krisis Yaman sebagai krisis kemanusiaan terburuk di dunia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement