Kamis 21 Jan 2021 18:19 WIB

Pakar: Program Swasembada Daging Gagal Redam Gejolak Harga

Pakar IPB mengibaratkan perdagingan nasional sedang mengidap kanker stadium satu.

Rep: Inas Widyanuratikah/ Red: Ratna Puspita
Sejumlah pedagang daging sapi beraktivitas di los daging saat aksi mogok jualan di pasar tradisional Pasar Minggu, Jakarta, Rabu (20/1). Aksi mogok tersebut serentak dilakukan pedagang daging sapi di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) mulai Rabu (20/1) hingga Jumat (22/1)  sebagai bentuk protes imbas dari melonjaknya harga daging sapi mencapai Rp.130 ribu per kilogram. Republika/Thoudy Badai.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Sejumlah pedagang daging sapi beraktivitas di los daging saat aksi mogok jualan di pasar tradisional Pasar Minggu, Jakarta, Rabu (20/1). Aksi mogok tersebut serentak dilakukan pedagang daging sapi di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) mulai Rabu (20/1) hingga Jumat (22/1) sebagai bentuk protes imbas dari melonjaknya harga daging sapi mencapai Rp.130 ribu per kilogram. Republika/Thoudy Badai.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dosen Divisi Pemuliaan dan Genetika Ternal Fakultas Peternakan IPB University Ronny Rachman Noor mengatakan, program swasembada daging gagal meredam gejolak harga daging. Saat ini, ia mengibaratkan perdagingan nasional sedang mengidap kanker stadium satu. 

"Artinya, kita memang sedang sakit. Namun kalau ditangani dengan serius sakit tersebut masih dapat disembuhkan," kata Ronny, dalam keterangannya, Kamis (21/1). 

Baca Juga

Menurut dia, tertumpunya impor sapi dari Australia dengan jumlah besar telah lama membuat terlena semua pihak. Pola pemikiran instan untuk mencari untung sesaat dan kemudahan mencari solusi sehingga sebagian pihak yang terlibat di dalam dunia peternakan sapi ini enggan untuk keluar dari kotak pemikiran tradisionalnya.

Ia mengatakan, kondisi tersebut membuat Indonesia menjadi kecanduan impor. Puncak impor sapi dari Australia yang pernah mencapai setara dengan 1 juta ekor sapi hidup mencerminkan besarnya jarak antara produksi dan permintaan daging nasional. 

"Syarat utama terjadinya impor dari negara lain untuk mengurangi ketergantungan impor sapi dari Australia adalah merevisi isi larangan yang tercantum dalam peraturan dan undang-undang yang sekarang masih diberlakukan. Dengan kemajuan teknologi seperti misalnya karantina terbatas dan pengembangan dan penerapan sistem biosekuriti yang baik, tentunya kita tidak harus melarang secara total impor sapi dari negara yang belum bebas penyakit mulut dan kuku," kata dia.

Menurutnya, pemasalahan sapi ini memang kompleks. Namun, apabila ada keinginan kuat, benang kusut ini dapat diurai untuk dicarikan jalan pemecahannya.

Salah satu hal yang harus segera dilakukan, dia mengatakan, penyederhanaan tata niaga sapi dan daging. Pengangkutan sapi dari pulau Bali dan Lombok ke wilayah Jabodetabek lewat darat, melewati terlalu banyak titik pungutan retribusi, baik yang legal maupun yang ilegal. 

Ia juga menyarankan pembelian kapal pengangkut ternak dan produk pertanian lainnya yang sudah dilakukan perlu diintensifkan penggunaannya untuk memotong rantai yang panjang ini. Penunjukan Bulog sebagai aktor utama untuk mengimpor sapi diharapkan dapat mengontrol gejolak harga jual daging sapi. Selain itu, Bulog dapat difungsikan sebagai penjaga stok sapi nasional.

Ronny mengatakan, pengalaman menunjukkan bahwa kuota impor yang diberikan oleh pihak tertentu selama ini terbukti tidak dapat mengendalikan harga daging di pasar. Bulog dalam hal ini harus berfungsi sebagai regulator harga daging sapi sekaligus sebagai stabilisator pasokan daging.  

"Keberhasilan Bulog dalam menjaga stabilitas harga beras dan cadangan pangan nasional diharapkan dapat juga dilakukan untuk komoditas daging sapi," kata dia menambahkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement