Kamis 21 Jan 2021 21:46 WIB

Nelayan Masalembu Tolak Aktivitas Kapal Cantrang

Persatuan Nelayan Masalembu, mendatangi kantor Dinas Kelautan dan Perikanan Jatim.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Andri Saubani
Seorang nelayan memperbaiki jaring cantrang. (ilustrasi)
Foto: Antara/Dedhez Anggara
Seorang nelayan memperbaiki jaring cantrang. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Persatuan Nelayan Masalembu, Sumenep, Madura mendatangi kantor Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Timur untuk melaporkan adanya aktivitas dan operasi kapal cantrang di wilayahnya. Kedatangan para nelayang tiada lain untuk mengeluhkan aktivitas kapal cantrang yang dirasa sangat meresahkan nelayan kecil dan tradisional yang tinggal di Desa Masalima dan Desa Sukajeruk, Pulau Masalembu.

"Nelayan menolak adanya aktivitas kapal cantrang yang memasuki wilayah perairan tradisional," kata Sekretaris Persatuan Nelayan Masalembu, Mat Sahri melalui siaran tertulisnya, Kamis (21/1).

Baca Juga

Mat Sahri menilai, aktivitas kapal cantrang ini sebagai dampak nyata atas direvisinya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No. 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Hasil dari revisi Permen KP No. 71 Tahun 2016 adalah Permen KP No. 59 Tahun 2020 yang diterbitkan pada tanggal 18 November 2020.

Di dalam Permen KP tersebut pada pasal 36, cantrang dikeluarkan dari kategori alat tangkap ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan. Penerbitan Permen KP No. 59 Tahun 2020 yang melegalkan cantrang sebagai alat tangkap memiliki sejumlah persoalan serius.

 

Di antaranya, mengabaikan temuan KKP sendiri yang dipublikasikan dalam dokumen Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir tahun 2018 yang menyebut cantrang dapat menyebabkan tiga hal. Mendorong penangkapan ikan yang tidak efektif dan eksploitatif, menghancurkan terumbu karang yang menjadi rumah ikan, dan memicu konflik sosial-ekonomi nelayan di tingkat akar rumput.

Mat Sahri menyatakan, aktivitas kapal cantrang di wilayah perairan tradisional Masalembu bahkan sudah memasuki wilayah 3 mil dari bibir pantai. “Sudah banyak rumpon nelayan yang hilang karena kapal cantrang masuk ke laut kami. Rumpon yang hilang itu ada yang berumur lebih dari 5 tahun dan itu sangat merugikan kami nelayan yang hidupnya bergantung dari hasil tangkapan ikan dari rumpon” ujar Mat Sahri.

Haerul Umam yang juga pengurus Kelompok Nelayan Rawatan Samudera mengatakan, pihaknya telah musyawarah dengan Forpimka Masalembu pada 16 November 2020 yang dihadiri oleh Camat, Kapolsek, dan Syahbandar. Dalam musyawarah tersebut, nelayan sepakat untuk menolak cantrang.

"Bahkan, kami juga beberapa kali berkoordinasi dengan Camat dan Kapolsek. Namun terkadang saat kami berkoordinasi dengan Camat malah diminta untuk koordinasi dengan Kapolsek, ketika datang ke Kapolsek, kami diminta koordinasi dengan Camat," ujarnya.

Persoalan Cantrang di Masalembu juga mendapat sorotan dari LBH Surabaya. Pengacara Publik LBH Surabaya, Moh. Soleh menegaskan, pihaknua menolak pemakaian cantrang karena akan merusak biota laut. LBH Surabaya dikatakannya mendukung dan siap mendampingi Nelayan Masalembu yang menolak keberadaan cantrang.

“LBH Surabaya menuntut penegakan hukum atas penggunaan cantrang khususnya di Masalembu. Untuk itu, LBH Surabaya meminta instansi terkait khususnya Aparat Penegak Hukum untuk melakukan operasi penindakan terhadap Nelayan yang menggunakan cantrang," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement