Selasa 26 Jan 2021 19:50 WIB

Kisah Umroh Penyintas Covid-19 RI Saat Dikarantina di Saudi

Selama 10 hari dikarantina itu mendapatkan pelayanan yang luar biasa.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Muhammad Fakhruddin

IHRAM.CO.ID,JAKARTA -- Bagi mereka yang belum merasakan jenuhnya diisolasi, jaga jarak dan memakai masker bukan suatu hal yang penting dipatuhi. Namun, bagi mereka yang sudah merasakan bagaimana hidup dalam masa isolasi jaga jarak dan memakai masker sangat penting.

Mereka yang pernah isolasi sangat kesal jika melihat orang di sekitarnya abai terhadap protokol kesehatan (prokes). Dia tidak mau pakai masker dan jaga jarak, padahal dengan patuh terhadap prokes bisa melindunginya dirinya dan orang lain.

"Mereka yang gak pakai masker itu belum tahu aja gimana stresnya diisolasi," kata Yandi Kondakh saat menceritakan pengalamannya diisolasi di Arab Saudi kepada Republika, belum lama ini.

Yandi Kondakh adalah satu dari 13 jamaah asal Indonesia yang diisolasi selama 10 oleh Pemerintah Arab Saudi. Yandi merupakan kelompok terbang (kloter) kedua umrah di masa pandemi di bulan November 2020 yang menceritakan bagaimana, stressnya berada di ruang isolasi, meski semua kebutuhan dipenuhi.

Jadi bagi dirinya sangat penting taat terhadap protokol kesehatan seperti memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak. Hal itu demi tidak tertular atau menularkan virus Covid-19. 

Yandi Kondakh menceritakan, pada pada tanggal 31 Oktober teman-teman dari asosiasi, menginformasikan sistem visa Umrah bisa diakses dan ini artinya Saudi sudah membuka umroh kembali. Koordinator di grup anggota asosiasi langsung menawari siapa-siapa yang mau berangkat umroh di masa pandemi semua akan diurus.

Ketika itu Yandi menyatakan kesiapannya umrah di masa pandemi meski belum punya persiapan apa-apa. "Sayapun nggak punya persiapan apa-apa hanya punya paspor akhirnya saya kirim paspor, diurusin tiket. Namun tiket juga masih tentatif, visa juga masih tentatif kita masuk saja daftar," katanya.

Sore harinya yang menyatakan siap berangkat Umrah di masa pandemi  langsung PCR di Ancol. Yandi mengira hasil PCR keluar malam harinya, akan tetapi sampai keesokan harinya PCR belum datang juga. 

"Tapi kita beranikan diri ke bandara sampai di bandara cuma bawa diri  dengan perlengkapan dikoper. Tiket belum pegang, visa belum pegang, PCR belum pegang," katanya.

Di bandara kata Yandi, sudah banyak orang yang sama ikut umroh di masa pandemi sekiranya ada 300 orang yang siap berangkat pada umroh pembukaan tahap pertama itu. Dari 300 orang itu berharap bisa berangkat meski masih punya masalah masing-masing.

"Semua berharap berangkat dengan macam-macam persiapan. Ada yang PCR nya sudah keluar tapi tiketnya belum ada, ada yang tiketnya sudah ada visa belum ada, ada yang visanya sudah ada PCR-nya belum ada. Jadi macam-macam masalah," katanya.

Yandi mengakui, dia adalah jamaah satu-satunya yang mendapat tiket, visa dan PCR lima menit menjelang check in maskapai Saudi Airline dan akhirnya gagal berangkat pada kloter pertama tanggal 31 Oktober. Dan setelah negoisasi dengan teman-teman di asosiasi diputuskan Yandi berangkat pada kloter kedua keberangkatan tanggal 3 November setelah dilakukan PCR kembali. "Singkat cerita sampai Saudi, masuk hotel langsung karantina tiga hari," katanya.

Setelah selesai tiga hari karantina, Yandi dan rombongan dites sweb pertama dan hasilnya negatif, sehingga rombongan keesokan harinya tepatnya tanggal 6 boleh umroh. Setelah umrah rombongan jamaah umrah kloter keberangkatan tanggal 3 November pulang ke hotel yang formasi nya satu hotel dua orang.  

"Di hotel tidak boleh kemana-mana, jangankan salat di Masjidil Haram, turun ke lobby hotel saja tidak boleh, berkunjung sesama teman satu hotel tidak boleh, ada CCTV yang mengintai," katanya.

Melihat seketat ini perasaan Yandi was-was bagaimana jika positif covid, pasti akan lebih ketat lagi perlakuannya. Karena belum dinyatakan positif saja sudah begitu ketatnya orang tidak boleh saling berkunjung di dalam satu hotel. Dan tentunya hal ini merupakan perbuatan yang tidak lazim di masa normal, karena di musim pandemi maka ketentuan itu diterima dengan lapang dada karena semua demi keselamatan jiwa.

Yandi kembali menceritakan, dua hari, setelah karantina semua jamaah dilakukan PCR, setelah di-PCR semua menunggu hasilnya dan berharap hasil baik saja tanpa ada masalah. Yandi yang menunggu hasilpun sampai terlelap tidur di empuknya kasus kamar hotel.

Baru saja mata tertutup sempurna, gerbang pintu mimpi mulai terbuka, tiba-tiba, tengah malah ada yang mengetuk pintu kamar hotelnya. "Tengah malam pintu diketok serasa kaya jaman PKI gitu," katanya.

Setelah dibukakan pintu, petugas muasasah yang mengetuk pintu itu langsung mencocokan paspor dan namanya. Setelah semua sama, Yandi diajak berkemas pindah kamar. "Sekarang berkemas-kemas kita pindah kamar karena hasil PCR ibu belum keluar," kata Yandi menirukan petugas muasasah yang menghampirinya malam-malam itu.

Mendengar hal itu Yandi mengaku lemes, kakinya gemetar.  Yandi sempat bertanya dalam hatinya ada apa ini malam-malam harus pindah kamar? Memang tidak bisa dilakukan esok hari kalau hanya sekedar pindah kamar meski demikian ia mengikuti saja. Yandi tetap berusaha menenangkan dirinya dengan bertanya. "Mana hasil PCR saya?” 

Namun kata Yandi, petugas itu tak memberikan jawaban pasti  dan malah bersikeras mengajak Yandi berkemas untuk segera pindah kamar. 

"Mungkin hasilnya baru ada sore. Kita tunggu besok sore jadi ibu harus pindah dulu kamar malam ini, nanti setelah sore kalau ada hasil baru kita pindah kamar lagi," kata Yandi menirukan petugas yang memintanya pindah kamar.

Setelah pindah kamar, Yandi berharap hasilnya negatif dan ternyata hasilnya negatif. Yandi harus melanjutkan isolasi di kamar sendirian begitu juga dengan jamaah lain yang juga dinyatakan positif korona meski petugas tak menunjukan hasilnya.

"Kami bertanya mana hasilnya? Saya pengen lihat seberapa tinggi tingkat positif kami. Ternyata mereka bilang tidak ada, alasannya dari Kemenkes tidak memberikannya," katanya.

Yandi dan kawan-kawan senasib mencoba menenangkan diri untuk berdamai dalam hari telah dinyatakan positif Covid- 19 dan harus dikarantina selama 10 hari. Selama karantina tidak boleh keluar kamar apapun yang terjadi.

"Kami 13 orang itu tidak boleh kemana-mana di dalam kamar saja. Makan, tidur, minum, salat dan olahraga pun dalam kamar masing-masing," katanya.

Pada pertama dan kedua Yandi belum terima dan tidak menyangka kalau dirinya mendapat jatah diisolasi di negeri orang karena Covid-19. Ia mengaku protes kepada Allah kenapa ia terjangkiti covid. 

"Saya masih ada rasa protes juga sama Allah.  Ya Allah aku kurang apa ya," katanya yang akhir menyadari ada hikmah di balik semua ini.

Barulah hari ketiga, Yandi mulai berdamai dengan hati, ia terima mulai apa yang menjadi kehendak Allah. Masih bersyukur ia masih dapat menjalankan ibadah umrah di masa pandemi di saat orang-orang tidak tak bisa menjalankannya karena Corona ini. 

"Alhamdulillah kami selama dikarantina itu semua fasilitas yang dibutuhkan dipenuhi oleh muasasah, dari mulai makanan ringan, makanan berat, obat-obatan, vitamin, madu, kurma, roti air zamzam, minyak, zaitun, habbatussauda semua dipenuhi termasuk kebutuhan pribadi wanita," katanya.

Yandi mengatakan, selama 10 hari di karantina itu mendapatkan pelayanan yang luar biasa. Setelah selesai karantina selama 10 hari Yandi bersama teman yang lainnya sebanyak 13 orang boleh melaksanakan salat lima waktu di Masjidil Haram di mana jamaah lain hanya bisa umroh tidak bisa melaksanakan salat di Masjidil Haram.

"Kami bersyukur yang pernah karantina ini setelah 10 hari dikasih waktu sekitar 4 hari ibadah di Majidil Haram dengan kawalan muasasah," katanya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement