Kamis 04 Feb 2021 14:46 WIB

Quo Vadis Perpres RAN Pencegahan Ekstremisme

Apakah Perpres RAN PE berpotensi menimbulkan persoalan baru di masyarakat?

Dian Andriasari, Dosen Fakultas Hukum Unisba, Ph.D Candidate UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Foto: dok pribadi
Dian Andriasari, Dosen Fakultas Hukum Unisba, Ph.D Candidate UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dian Andriasari, Dosen Fakultas Hukum Unisba, Ph.D Candidate UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Lebih dari satu dekade lalu kita ramai-ramai membicarakan, mengkaji, meneliti, serta menyelenggarakan forum-forum diskusi tentang pluralisme, multikulturalisme, dan berbagai isu terkait di dalamnya. Sementara itu, hari ini kita “dikondisikan” untuk mengenali istilah baru yang sedang menjadi isu global. Istilah itu adalah “violent extremism” dan turunannya yang sering kita dengar baik di forum ilmiah maupun di media massa.

Dari sudut pandang etimologi, istilah violent extremism merupakan sebuah kode pada “Islamic terrorism”, yakni aksi terorisme yang dilakukan oleh orang-orang Islam. Kausalitas istilah ekstremisme dan terorisme secara tidak disadari melahirkan keadaan “moral panic” dan Islamphobia di masyarakat. Narasi sekaligus teori-teori tentang terorisme berkembang melalui ingatan bersama (collective memory) atas berbagai peristiwa bom bunuh diri.

Walaupun demikian, dampak penggunaan istilah violent extremism salah satunya adalah stereotyping yang berujung pada prasangka. Di sisi lain bentuk prasangka mengakibatkan kekerasan verbal dan bermula dari penggunaan bahasa yang kurang tepat.

Adanya fakta gerakan keagamaan pascareformasi yang menguat, artinya, radikalisme juga pelan-pelan tumbuh subur tidak hanya melalui pengaruh doktrin keagamaan di dalam keluarga (wilayah domestik) tetapi juga di tingkat institusi, bahkan birokrasi (wilayah publik). Hasil riset terakhir Kajian Terorisme Universitas Indonesia tahun 2018 menyatakan “di lingkungan keluarga yang sudah terpapar radikalisme, satu anggota keluarga sangat mungkin untuk melakukan transmisi nilai-nilai yang radikal terhadap anggota keluarga lainnya. Proses transmisi tersebut tidak hanya didominasi oleh sosok kepala keluarga, tetapi seluruh anggota keluarga dapat berperan dan saling mempengaruhi” (Zuhdi, dkk. 2018: 181).

Ironisnya, yang saat ini kerap terjadi adalah masyarakat berbondong-bondong menyuarakan aspirasi politik dengan bungkus ideologi agama. Persoalan fanatisme memiliki dampak yang rentan pada aksi-aksi ekstremisme seperti bom bunuh diri. Fanatisme dalam konteks yang dimaksud di sini juga merujuk pada paham fundamentalisme. Menurut Azyumardi Azra, karakteristik fundamentalisme adalah perlawanan terhadap modernitas, sekularisasi dan tata nilai barat, penolakan terhadap hermeneutika-pluralisme dan relativisme keberagamaan, serta penolakan terhadap historis dan sosiologis yang membuat mereka mudah terperangkap dalam aksi atau tindakan kekerasan.

Kehidupan adalah anugerah berharga dari Allah SWT. Segera ajak bicara kerabat, teman-teman, ustaz/ustazah, pendeta, atau pemuka agama lainnya untuk menenangkan diri jika Anda memiliki gagasan bunuh diri. Konsultasi kesehatan jiwa bisa diakses di hotline 119 extension 8 yang disediakan Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Hotline Kesehatan Jiwa Kemenkes juga bisa dihubungi pada 021-500-454. BPJS Kesehatan juga membiayai penuh konsultasi dan perawatan kejiwaan di faskes penyedia layanan
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement