Senin 15 Feb 2021 21:21 WIB

Ekonomi Jepang Menyusut 4,8 persen di 2020

Penyusutan ekonomi Jepang masih tertahan rebound konsumsi dan ekspor.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Fuji Pratiwi
Ikon Jepang, Gunung Fuji (ilustrasi). Ekonomi Jepang menyusut 4,8 persen selama setahun penuh, kontraksi pertama sejak 2009.
Foto: myknownbuzz.com
Ikon Jepang, Gunung Fuji (ilustrasi). Ekonomi Jepang menyusut 4,8 persen selama setahun penuh, kontraksi pertama sejak 2009.

REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Ekonomi Jepang melonjak pada kuartal keempat 2020, tetapi itu tidak cukup untuk menjaga negara tersebut dari pertumbuhan negatif untuk tahun tersebut. Ekonomi Jepang menyusut 4,8 persen selama setahun penuh, kontraksi pertama sejak 2009.

Ekonomi negara tersebut mengalahkan ekspektasi untuk tumbuh sebesar 3 persen antara Oktober dan Desember dibandingkan dengan periode yang sama pada 2019. Tetapi pertumbuhan jauh lebih lambat dari pada kuartal sebelumnya, ketika ekonomi tumbuh 5,3 persen.

Baca Juga

Angka pertumbuhan tersebut muncul ketika indeks Nikkei Jepang sempat mencapai 30.000 untuk pertama kalinya sejak 1990, dilansir di BBC, Senin (15/2).

Ekonomi terbesar ketiga di dunia itu mengalami kontraksi kuartalan terburuk pasca-perang antara April dan Juni, karena pandemi global menghantam konsumsi domestik dan ekspor.

Tetapi konsumsi dan ekspor, yang keduanya merupakan penggerak utama ekonomi Jepang, juga memicu rebound di paruh kedua tahun ini.

Konsumsi swasta, yang merupakan lebih dari setengah ekonomi, naik 2,2 persen pada kuartal terakhir 2020, melambat dari peningkatan 5,1 persen pada kuartal sebelumnya.

Pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat secara global pada kuartal ketiga dan keempat juga membantu bisnis Jepang menjual lebih banyak produk mereka ke luar negeri.

Pertumbuhan tahunan, yang mengasumsikan pertumbuhan kuartal akan dipertahankan sepanjang tahun, adalah 12,7 persen. Hal ini menunjukkan Jepang dapat berada di jalur untuk pemulihan yang kuat dan cepat.

Tetapi pertumbuhan masih rapuh, dan dapat terhambat oleh pembatasan yang bertujuan untuk membatasi gelombang Covid-19 lainnya.

Takumi Tsunoda, ekonom senior di Shinkin Central Bank Research, memperkirakan pemulihan akan sulit karena Jepang tertinggal dari negara-negara barat dalam distribusi vaksin.

"Ada kemungkinan besar bahwa akan ada siklus berulang dari infeksi virus corona yang menyebar dan diatasi tahun ini, yang berarti konsumsi tidak mungkin pulih seperti yang diharapkan," kata Tsunoda.

Pada bulan Desember, pemerintah mengumumkan putaran stimulus lainnya yang bertujuan untuk menarik ekonomi negara tersebut keluar dari keterpurukannya. Paket 73.6 triliun yen (Rp 9.740 triliun) membuat total pengeluaran stimulus Jepang menjadi sekitar 3 triliun dolar AS (Rp 42.000 triliun). 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement