Rabu 17 Feb 2021 18:56 WIB

Prancis Loloskan RUU Anti-Radikalisme

Prancis ingin memastikan masjid tidak berada di bawah pengaruh kepentingan asing.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Teguh Firmansyah
Presiden Prancis Emmanuel Macron.
Foto: FRANCOIS MORI / POOL/AP POOL
Presiden Prancis Emmanuel Macron.

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Anggota majelis rendah parlemen Prancis telah menyetujui rancangan undang-undang (RUU) tentang anti-radikalisme yang akan memperkuat pengawasan terhadap masjid, sekolah, dan klub olahraga pada Selasa (16/2). Proyek hukum Presiden Emmanuel Macron itu bertujuan melindungi Prancis dari apa yang disebutnya kelompok Islam radikal.

Setelah dua pekan perdebatan sengit, RUU itu berhasil lolos dengan 347 suara dukungan. Sementara sebanyak 151 anggota menentang dan 65 lainnya abstain.

Baca Juga

RUU tersebut memperkenalkan mekanisme untuk menjamin masjid dan asosiasi yang menjalankannya tidak berada di bawah kepentingan asing atau Salafi lokal dengan interpretasi Islam ketat. Asosiasi harus menandatangani kontrak penghormatan terhadap nilai-nilai Prancis dan membayar kembali dana negara jika mereka melewati batas.

Petugas polisi dan staf penjara harus bersumpah menghormati nilai-nilai bangsa dan konstitusi. RUU itu pun bakal melarang sertifikat keperawanan dan menindak poligami serta kawin paksa.

RUU mengharuskan anak-anak menghadiri sekolah reguler mulai usia tiga tahun. Itu menjadi sebuah cara mencegah penguatan ideologi dari sekolah rumah. Pemerintah akan menyediakan pelatihan tentang sekularisme bagi semua pegawai negeri sipil.

Siapa pun yang mengancam pegawai publik berisiko diganjar hukuman penjara. Untuk mengakomodasi perubahan, RUU itu pun menyesuaikan UU Prancis tahun 1905 yang menjamin pemisahan gereja dan negara.

Sejumlah Muslim di Prancis merasa terdapat iklim kecurigaan terhadap mereka dalam RUU tersebut. "Ada kebingungan, seorang Muslim adalah Muslim dan itu saja," kata Bahri Ayari, seorang Muslim berdomisili di Paris.

"Kita berbicara tentang radikal, tentang apa saya tidak tahu. Ada sebuah buku, ada seorang nabi. Nabi telah mengajarkan kita," ujar Ayari.

Adapun bagi Muslim yang melakukan kejahatan, tindakan mereka seharusnya diletakkan di belakang Islam. "Bukan itu yang dimaksud Muslim," kata Ayari.

Beberapa hari sebelum pemungutan suara RUU dilakukan, Menteri Dalam Negeri Prancis Gerald Darmanin menuding pemimpin politisi sayap kanan Prancis Marine Le Pen bersikap lunak terhadap Islam radikal. Pernyataannya dimaksudkan menggambarkan bahwa pemerintahan Macron lebih keras daripada kalangan sayap kanan dalam menangani ekstremisme Islam.

Le Pen telah mengkritik RUU yang baru saja disetujui terlalu lemah. Dia mengklaim memiliki rancangan yang lebih keras. Le Pen adalah lawan Macron dalam pilpres 2017 lalu. Dia telah menyatakan akan mencalonkan diri kembali pada pilpres 2022 mendatang.

sumber : AP/Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement