Jumat 05 Mar 2021 20:09 WIB

Kedekatan Syiah Irak dan Katolik di Mata Penulis Iran

Syiah dan Katolik belakangan mempunyai hubungan yang kuat

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Nashih Nashrullah
 Papan iklan yang menampilkan Paus Francis dan Ayatollah Ali al-Sistani, di Baghdada Irak Senin 1 Maret 2021.
Foto: AP/Khalid Mohammed
Papan iklan yang menampilkan Paus Francis dan Ayatollah Ali al-Sistani, di Baghdada Irak Senin 1 Maret 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, NAJAF—Kedatangan Paus Fransiskus ke Irak merupakan kunjungan pertama dan akan menjadi pertemuan bersejarah antara dua pemimpin agama yang paling dihormati di dunia.

Bagi umat Islam, kunjungan itu merupakan isyarat untuk menjangkau Syiah, terutama pada 6 Maret ketika Paus dijadwalkan melakukan perjalanan ke Najaf untuk bertemu dengan Ayatollah Ali al-Sistani, pemimpin berwibawa yang disegani seluruh Muslim Syiah, mewakiliki sekitar 10 sampai 15 persen populasi total Muslim di dunia. 

Baca Juga

Syiah biasanya dipandang sebagai teroris di Barat, sebagian besar karena ingatan akan Revolusi Iran ditambah dengan sikap anti-Semit dan anti-Barat dari mantan Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad.

Namun spektrum Syiah juga mencakup tokoh-tokoh seperti Ayatollah Ali al-Sistani dari Irak, yang dinominasikan orang Kristen Irak pada 2005 untuk Hadiah Nobel Perdamaian.

Selama bertahun-tahun, hubungan Katolik-Muslim cenderung berfokus pada Sunni. Namun belakang ini, bermunculan pandangan yang aneh, dan membuat kesamaan Sunni dan Katotik memudar. Sunni justru ini lebih sering dimiripkan dengan Calvinis dibanding Katolik.

Di sisi lain, penulis Iran Vali Nasr dalam bukunya 2006 "The Shia Revival" menandai serangkaian paralel yang mengesankan antara Syiah dan Katolik. Kesamaan prinsip antara Katolik-Muslim Syiah, seperti otoritas klerikal, teologi pengorbanan dan penebusan melalui kematian Hussein, pengabdian pada para orang suci, dan lainnya.

Penulis Iran lainnya, Reza Aslan, mengatakan penafsiran rasional hukum Islam oleh ulama Syiah berpotensi menciptakan fleksibilitas yang terkadang kurang dalam Islam Sunni, yang terbelenggu pada pembacaan Alquran yang lebih literal.

Aslan percaya masyarakat yang dipengaruhi Syiah mungkin lebih setuju untuk bereksperimen dengan demokrasi, hak asasi manusia dan pluralisme, asalkan mereka didasarkan pada penalaran agama, seperti, yang juga diterapkan  dalam teori sosial Katolik.

Pada Oktober 2005, Pastor Mark Serna Benediktus, seorang veteran pertukaran Katolik / Syiah, menulis, “Dalam perbedaan dengan Muslim dalam tradisi Sunni, Muslim Syiah adalah mitra dialog yang sangat alami dengan Katolik Roma dan biarawan. Ada banyak bidang kebersamaan: tradisi kontemplatif dan mistik yang mendalam; pemujaan orang-orang kudus, khususnya Maria, Bunda Yesus, gagasan tentang kesempurnaan dan otoritas, penekanan tinggi pada penyelidikan rasional tentang masalah iman; keyakinan dan praksis; dan studi filosofis dan teologis."

Semua ini menciptakan lahan subur bagi pertukaran Katolik-Syiah. Katolik juga hadir dalam masyarakat Syiah sebelum kebangkitan Islam atau Barat, seperti Umat Katolik Maronit di Lebanon, misalnya, Katolik Kasdim di Irak, serta Katolik Armenia dan Kasdim di Iran. Umat Katolik ini berbicara bahasa dan tahu budayanya.

Namun, sejarah tampaknya telah menciptakan kesempatan khusus bagi Katolik untuk menjalin hubungan dengan tradisi Syiah, dan akhir pekan ini memberi Paus Francis kesempatan yang secara historis mewujudkan kemungkinan tersebut.

sumber: https://shafaq.com/en/Report/Analysis-In-Iraq-Pope-Can-Deepen-Ties-With-Church-s-Natural-Islamic-Partners  

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement