Rabu 17 Mar 2021 22:03 WIB

Hukum Mengkonsumsi Kopi Luwak

Hukum kopi luwak ini ada yang bilang halal dan ada yang bilang haram.

Rep: Muhyiddin/ Red: Muhammad Fakhruddin
Hukum Mengkonsumsi Kopi Luwak (ilustrasi).
Foto: ANTARA/Anis Efizudin
Hukum Mengkonsumsi Kopi Luwak (ilustrasi).

IHRAM.CO.ID,JAKARTA -- Masyakarakat Indonesia sangat dekat dengan kopi. Dari sekian banyak jenis kopi yang ada, kopi luwak merupakan salah satu jenis yang paling banyak digemari. Namun, proses pembuatan kopi luwak kerap dipertanyakan oleh masyarakat karena keluar sebagai kotoran hewan luwak. 

Lalu, bagaimana hukum kopi luwak ini dari perspektif fikih? Bukankah hukumnya sama dengan kotoran hewan, yaitu merupakan benda najis? 

Pendiri Rumah Fiqih Indonesia, Ustaz Ahmad Sarwat menjelaskan bahwa hukum kopi luwak ini ada yang bilang halal dan ada yang bilang haram. "Tergantung dari sudut pandang mana melihatnya. Sebagian ulama, termasuk di dalamnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan sebagian ormas Islam menghalalkan kopi luwak," ujar Ustaz Sarwat dikutip dari Rumahfiqih, Rabu (17/3). 

Namun, menurut dia,  tidak sedikit yang tetap mengatakan hukumnya haram, karena termasuk benda najis. Karena itu, menurut dia, masalah hukum kopi luwak ini perlu dilihat dengan cermat. Apalagi, di tengah masyarakat kopi luwak ini ternyata ada banyak ragamnya. 

Dia mengatakan, sebagian dari kopi itu ada yang memang benar-benar dibuat dari biji kopi yang keluar dari anus luwak. Akan tetapi, kadang ada juga produk yang memakai gambar atau cap luwak, namun tidak lewat proses keluar dari perut luwak.

"Kalau cuma mereknya saja yang terkait luwak tetapi hakikatnya bukan kotoran luwak, tentu tidak perlu diributkan," ucapnya. 

Namun, menurut Ustaz Sarwat, kalau bicara tentang kopi luwak yang menggunakan biji kopi dari sisa kotoran luwak atau musang kelapa, maka secar umum menurut para ulama memang kopi ini hukumnya najis. 

"Karena itu pula hukumnya haram untuk diminum," kata  Ustaz Sarwat.

Dia pun mengungkapkan sejumlah pandangan ulama tentang hukum kotoran hewan. Berdasarkan pendapat jumhur ulama, menurut dia, dalam pandangan mazhab Al-Hanafiyah dan Asy-Syafi'iyah, semua kotoran hewan adalah benda najis, baik hewan itu halal dagingnya maupun haram dimakan.

"Dan yang disebut dengan kotoran hewan (ghaith) adalah semua benda yang keluar lewat kemaluan, baik berupa benda cair, padat, maupun gas," jelasnya. 

Sedangkan menurut pendapat mazhab Hambali, untuk hewan yang dagingnya halal dimakan, air kencing dan kotorannya tidak najis. Kalau air kencing atau kotorannya tidak najis, tidak ada `illat untuk mengharamkannya.

"Dengan kata lain, bisa saja kopi luwak ini dianggap tidak haram karena dalam pandangan mazhab Hambali kotoran luwak bukan benda najis," kata Ustaz Sarwat. 

Dasar pengambilan hukum atas ketidaknajisan kotoran hewan yang halal dagingnya adalah hadis berikut,

كَانَ النَّبِىُّ يُصَلِّى قَبْلَ أَنْ يُبْنَى الْمَسْجِدُ فِى مَرَابِضِ الْغَنَمِ

Dulu, sebelum dibangun Masjid Nabawi, Nabi SAW mendirikan shalat di kandang kambing. (HR. Bukhari Muslim).

Berbeda dengan anggapan kebanyakan orang yang mengharamkan kopi luwak karena dianggap najis, menurut Ustaz Sarwat, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga berpandangan bahwa kopi luwak itu halal alias tidak haram.

Dalam fatwa MUI disebutkan bahwa memang awalnya biji kopi itu terkena najis, sehingga hukumnya menjadi mutanajjis, lantaran keluar dari anus luwak. MUI pun membedakan antara benda najis dengan benda yang mutanajjis. 

Menurut MUI, benda najis adalah benda itu sendiri yang najis. Walaupun dicuci sampai bersih tetap saja benda itu masih menjadi benda najis. Sedangkan benda yang mutanajjis sesungguhnya benda yang suci namun terkena najis. Apabila dicuci hingga bersih dan hilang semua najis yang menempel, maka benda itu adalah benda suci.

"Dalam kasus biji kopi yang dimakan oleh luwak, mereka (MUI) berpendapat bahwa biji keluar dari anus luwak bukan sebagai benda najis, tetapi sebagai benda mutanajjis. Sehingga bila biji kopi itu dicuci dengan bersih, sehingga semua feses atau kotoran yang najis itu hilang, maka biji kopi itu menjadi bersih dan suci kembali," jelas Ustaz Sarwat. 

Namun, yang menjadi pertanyaan adalah dari mana MUI berkesimpulan bahwa biji kopi itu bukan benda najis? Bukankah semua benda yang keluar dari anus hewan itu harus dimasukkan sebagai benda najis?

Menurut Ustaz Sarwat, ternyata memang ada keterangan di dalam beberapa kitab fikih, khususnya fikih As-Syafi'iyah, bahwa biji yang dimakan hewan dan keluar masih utuh, tidak termasuk najis.

Dalam berfatwa, menurut Ustaz Sarwat, MUI menggunakan logika bahwa biji kopi itu diibaratkan seperti biji tumbuh-tumbuhan yang dimakan oleh hewan dan keluar lewat kotoran. Biji itu tidak tercerna di dalam perut hewan itu dan keluar dalam keadaan utuh dan tetap keras. Bahkan biji itu bisa ditanam kembali dan tumbuh menjadi pohon.

Maka dalam hal ini, menurut Ustaz Sarwat, hukum biji tidak dianggap najis, sebagaimana difatwakan oleh Al-Imam An-Nawawi di dalam kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab jilid 2 hal 573 Cet. Dar Fikr.

Redaksinya yang tertulis di dalam kitab tersebut adalah :

قَالَ أَصْحَابُنَا رَحِمَهُمُ اللّٰهُ : إِذَا أَكَلَتِ الْبَهِيْمَةُ حَبًّا وَخَرَجَ مِنْ بَطْنِهَا صَحِيْحًا ، فَإِنْ كَانَتْ صَلَابَتُهُ بَاقِيَةً بِحَيْثُ لَوْ زُرِعَ نَبَتَ ، فَعَيْنُهُ طَاهِرَةٌ لٰكِنْ يَجِبُ غَسْلُ ظَاهِرِهِ لِمُلَاقَاةِ النَّجَاسَةِ

“Para sahabat kami (ulama madzhab Syafi’i) semoga Allah merahmati mereka mengatakan: ‘Jika ada hewan memakan biji tumbuhan kemudian dapat dikeluarkan dari perut, jika kekerasannya tetap dalam kondisi semula, yang sekiranya jika ditanam dapat tumbuh maka tetap suci tetapi harus disucikan bagian luarnya karena terkena najis."

Namun, menurut Ustzaz Sarwat, jika biji itu hancur dicerna oleh hewan itu, mereka sepakat bahwa biji itu menjadi najis. Dan hal ini disepakati oleh para ulama mazhab Asy-syafi'iyah. Pendeknya, kata dia, selama biji itu keluar dalam keadaan utuh, maka hukumnya tidak najis tetapi mutanajjis. Kalau dicuci bersih dan hilang fesesnya, maka biji itu tidak najis.

"Namun bila dari sekian banyak biji kopi itu ada yang pecah, hancur atau keluar dalam keadaan tidak utuh, maka hukumnya najis dan haram dikonsumsi," jelas Ustaz Sarwat. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement