Kamis 25 Mar 2021 00:03 WIB

Dituduh Islamofobia, Profesor Jerman Dijaga Ketat

Seorang profesor Jerman menjadi sasaran kampanye kebencian terkait islamofobia

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
Dituduh Islamofobia, Profesor Jerman Mendapat Perlindungan Polisi
Dituduh Islamofobia, Profesor Jerman Mendapat Perlindungan Polisi

"Tolak kaum fasis di ruang kuliah kami! Singkirkan Profesor Kinzler! Islamofobia membunuh," demikian tulisan spanduk besar yang digantung di Universitas Grenoble. Aktivis dari serikat mahasiswa Prancis, Unef, juga memposting slogan-slogan tersebut secara online.

Islamofobia bukan tuduhan enteng di Prancis. Lima bulan setelah pembunuhan brutal terhadap seorang guru sejarah, Samuel Paty. Menyusul debat yang memicu kemarahan publik di Institut Studi Politik Grenoble, dua profesor kini berada di bawah perlindungan polisi.

Baca Juga

Begini kejadiannya: Tiga setengah bulan yang lalu, para mahasiswa dan dosen di universitas sedang mendiskusikan judul dari sebuah seminar yang tengah direncanakan- bertopik kesetaraan. Judul yang diperdebatkan: Haruskah "islamofobia" dimasukkan bersama "anti-Semitisme" dan "rasisme"?

Profesor Klaus Kinzler, yang mengajar bahasa dan budaya Jerman di universitas tersebut, merasa bahwa islamofobia tidak sebanding dengan anti semitisme. Menyusul sarannya untuk tidak memasukkan istilah "islamophobia" dalam judul seminar, dosen tersebut dikeluarkan dari grup diskusi di email.

Kebetulan, profesor kelahiran Stuttgart itu menikah dengan perempuan muslim. Ketika profesor lain menunjukkan solidaritas dengan Kinzler, serikat mahasiswa Unef menyasarnya.

Menteri Dalam Negeri Prancis untuk Masalah Kewarganegaraan, Marlene Schiappa, bereaksi terhadap kasus ini: Setelah pemenggalan kepala guru Samuel Paty, kampanye kebencian terhadap para profesor adalah "tindakan yang sangat menjijikkan," kata Schiappa dalam sebuah wawancara TV. Unef secara aktif "membahayakan nyawa para profesor," tambahnya.

Sebuah refleksi dari masalah integrasi Prancis

Sejarawan dan penulis Jerman, Philipp Blom, memandang diskusi di Prancis tentang islamofobia sebagai refleksi dari isu-isu sosial yang terkait dengan posisi negara tersebut sebagai bekas kekuasaan kolonial, di mana berlaku "rasisme fungsional".

Integrasi imigran dari Afrika Utara jelas gagal, kata Blom. "Di Banlieues di pinggiran Paris, orang-orang tidak merasa seperti tinggal di Prancis. Mereka tidak memiliki kesempatan yang sama dengan orang lain," kata Blom kepada DW.

Mengalami marginalisasi dan penghinaan, seluruh generasi telah tumbuh dewasa dalam lingkungan di mana para kriminal kecil dan Islam radikal bersaing untuk berebut dominasi. "Saya dapat memahami bahwa situasi ini menciptakan kemarahan, termasuk kemarahan yang mematikan," papar Blom.Tapi hal itu bukan masalah Prancis secara khusus, tambah sejarawan tersebut. Namun, pengalaman mengalami penghinaan adalah "kekuatan politik yang sangat penting".

Politik identitas dan ‘penyingkiran‘ budaya

Sementara itu Klaus Kinzler mengatakan kepada surat kabar Jerman, Die Welt bahwa ada bentuk aktivisme politik di Prancis yang menyamar sebagai akademisi.

Senada dengannya, ilmuwan politik Claus Leggewie menunjukkan bahwa para aktivis itu tidak berperang melawan kekuasaan, kemapanan, sayap kanan atau fasis sejati, melainkan melawan orang-orang yang pandangannya dianggap "tidak cukup pro-Islam". Leggewie menggambarkan kasus ini sebagai pembungkaman dan "melarang gagasan dan diskusi".

Media sosial juga telah menjadi ruang gaung kelompok identitas sosial, yang semakin mengecualikan orang-orang yang mempunyai gagasan-gagasan berbeda. Dengan melancarkan kontroversi secara online, anggota kelompok ini segera mendapatkan pengakuan media, kata Leggewie. "Persis seperti itulah yang terjadi di Grenoble, dan dengan Samuel Paty, yang dalam kasusnya hal itu berakibat fatal," tambah pakar politik tersebut.

Islamofobia versus anti semitisme

Klaus Kinzler telah menjadi profesor di Institut Studi Politik Grenoble selama 25 tahun. Dia "tidak terkejut" dengan slogan-slogan di gedung universitas, karena serikat mahasiswa Unef telah mencapnya sebagai ekstremis sayap kanan dan islamofobia di jejaring sosial.

Rasisme dan anti semitisme - yang keduanya merupakan tindak pidana di Prancis- tidak ada hubungannya dengan islamofobia, demikian dalam pandangan Kinzler. "Anti semitisme telah mengakibatkan jutaan kematian, genosida tak berujung. Lalu ada pula rasisme, perbudakan. Hal itu juga telah mengakibatkan puluhan juta angka kematian dalam sejarah," jelasnya kepada Die Welt.

"Tapi di mana terjadi jutaan kematian terkait dengan islamofobia?" tanyanya sembari menjelaskan: "Saya tidak menyangkal bahwa orang-orang beragama muslim mengalami diskriminasi. Saya hanya menolak untuk menempatkannya pada level yang sama. Saya rasa ini adalah pengecohan yang tidak masuk akal."

Kinzler adalah "profesor bahasa Jerman biasa di institut provinsi" dan selalu menikmati pekerjaannya, ujarnya kepada media Jerman, Frankfurter Allgemeine Zeitung. Sebelum kontroversi meledak, para mahasiswa mengatakan kepadanya bahwa mereka menghargai bahwa dia mempertahankan posisi bebas dan liberal. "Pertukaran (gagasan) itu selalu memperkaya," ujarnya.

Pada akhirnya, katanya, dia tidak terlalu tersinggung oleh para mahasiswa yang meluncurkan kampanye kebencian, dibandingkan dengan rekan-rekannya, peneliti, dan profesor - yang menjauhkan diri darinya, tanpa membuka ruang dialog.

"Hal itu tidak pernah terjadi pada saya selama 30 tahun berkarier di universitas," kata Kinzler kepada DW. "Saya selalu diizinkan untuk mengatakan apa yang saya ingin katakan, bahkan jika diskandalisasi. Peristiwa ini adalah sesuatu yang baru yang saya hadapi ... argumen yang kurang lebih tidak lagi disepakati di dunia akademis, tetapi merupakan bentuk ofensif."

Bagi banyak koleganya, kata Kizler, dia dianggap "sayap kanan reaksioner" yang merugikan dirinya sendiri dan merusak reputasi institut. Kizler berasumsi bahwa dia akan menjadi"persona non grata" untuk beberapa tahun mendatang - bahkan mungkin sampai pensiun. "Tapi saya bisa hidup dengan situasi itu," katanya. "Saya tidak melakukan apa-apa, selain membela demokrasi. Saya membela diri, saya membela kolega saya, dan saya membela kebebasan akademis." (rzn/vlz)

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement