Sabtu 27 Mar 2021 10:13 WIB

Konflik Nasionalisme Vaksin Menguat: Inggris Vs Uni Eropa

Uni Eropa dan Inggris saling gertak untuk tidak mengirim vaksin yang dibutuhkan.

 Seorang petugas kesehatan menunjukkan botol vaksin COVID-19 AstraZeneca saat kampanye vaksinasi COVID-19 massal di Sanur, Bali, Indonesia, 22 Maret 2021.
Foto: EPA-EFE/MADE NAGI
Seorang petugas kesehatan menunjukkan botol vaksin COVID-19 AstraZeneca saat kampanye vaksinasi COVID-19 massal di Sanur, Bali, Indonesia, 22 Maret 2021.

REPUBLIKA.CO.ID --- Oleh Jonathan Fenton-Harvey, Penulis adalah peneliti dan jurnalis yang fokus pada konflik dan geopolitik Timur Tengah dan Afrika Utara, terutama kawasan Teluk.

Di tengah perselisihan tentang vaksin Covid-19 antara Uni Eropa (UE) dan Inggris, Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen pada 17 Maret mengatakan [1] bahwa UE mungkin akan menghentikan ekspor vaksin Covid-19 ke Inggris, untuk memastikan kecukupan dosis bagi warganya sendiri.

Baca Juga

“Kami melihat puncak gelombang ketiga (Covid-19) mulai terjadi di negara-negara anggota. Kami tahu bahwa kami perlu mempercepat vaksinasi,” kata von der Leyen merujuk pada kebutuhan menyuntik lebih banyak warga Uni Eropa.

Von der Leyen membuat ancaman serupa pada Ahad [2], mengatakan bahwa jika perusahaan Anglo-Swedia tidak memenuhi kewajiban memasok ke UE, blok tersebut akan menghentikan pengiriman vaksin Oxford-AstraZeneca ke Inggris.

UE sangat mengkhawatirkan kurangnya pasokan dari perusahaan yang lebih memprioritaskan Inggris itu.

Sebelumnya, pada Januari, Oxford-AstraZeneca mengumumkan mereka tidak bisa memasok vaksin ke UE dengan jumlah seperti yang diharapkan pada akhir Maret.

Beberapa pemimpin Uni Eropa sangat frustrasi dengan pengumuman itu, mereka menganggap Oxford-AstraZeneca lebih memilih pasar Inggris daripada mereka.

Kebuntuan komunikasi antara Brussel dan London mendorong UE mengadopsi lebih banyak kebijakan proteksionis. Kondisi ini mengikuti hubungan yang semakin memburuk antara keduanya setelah Brexit. [3]

London dan Brussel ingin menjadi yang paling depan dalam upaya vaksinasi global, tetapi Inggris mencatatkan perolehan yang lebih unggul.

Menurut statistik “Our Word in Data” pada 20 Maret, Inggris telah memvaksinasi 43 persen populasinya, sedangkan UE baru 12 persen.

Inggris menargetkan [4] pada Juni, setiap warga negara akan menerima paling tidak satu dosis suntikan vaksin. Perdana Menteri Boris Johnson menganggap hal ini sebagai pencapaian yang membanggakan.

Pada 11 Maret, Presiden Dewan Eropa Charles Michel memuji [5] UE, dengan mengatakan bahwa tidak mungkin mengembangkan dan memproduksi beberapa jenis vaksin dalam waktu kurang dari setahun tanpa bantuan Eropa.

Dia mengeklaim bahwa solidaritas UE telah memberi negara-negara miskin di dalam blok tersebut, akses vaksin, setidaknya untuk dosis pertama.

Namun, persaingan di antara mereka menimbulkan kekhawatiran munculnya "nasionalisme vaksin", yang bisa mengganggu vaksinasi di Eropa maupun dunia.

Negara-negara kaya dicurigai....

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement