Kamis 01 Apr 2021 12:20 WIB

Pengamat Ungkap Milenial Sasaran Utama Perekrutan Teroris

Pola rekrutmen pelaku teror saat ini berkembang lebih terbuka.

Sejumlah anggota kepolisian berjaga pasca penembakan terduga teroris di kawasan Gedung Mabes Polri, Jakarta, Rabu (31/3).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah anggota kepolisian berjaga pasca penembakan terduga teroris di kawasan Gedung Mabes Polri, Jakarta, Rabu (31/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Militer dan Intelijen, Susaningtyas Kertopati, mengatakan, beberapa aksi teror yang terjadi beberapa hari ini menunjukkan generasi milenial menjadi sasaran utama perekrutan teroris. Milenial digemari karena masih dalam fase mencari jati diri.

"Milenial kebanyakan masih mencari jati diri dan mengikuti arah pihak yang paling berpengaruh," kata Susaningtyas dalam siaran persnya, di Jakarta, Kamis (1/4). Serangan teror Mabes Polri dilakukan oleh seorang wanita berusia 26 tahun. Begitu pun, serangan bom Makassar juga dilakukan oleh pasangan milenial yang masih berusia 26 tahun.

Baca Juga

"Mereka adalah korban dari penetrasi ideologi kekerasan global yang masuk ke Indonesia," kata Nuning, sapaan Susaningtyas Kertopati dalam Webinar The Indonesia Intelligence Institute Rabu (31/3).

Menurut Nuning, pola rekrutmen saat ini berkembang menjadi lebih terbuka gunakan ruang publik seperti sekolah, kampus, dan perkumpulan kegiatan-kegiatan keagamaan. "Oleh karenanya, pemerintah juga harus melibatkan milenial sebagai upaya melakukan pencegahan agar tidak ada perekrutan baru," kata Doktor Bidang Komunikasi Intelijen Unpad tersebut.

Nuning menjelaskan dalam menganalisa kejadian terorisme harus holistik. "Kejadian bom bunuh diri itu tentu saja sinyal bahwa mereka ingin menunjukkan eksistensinya. Oleh karena itu harus dikenali embrio terorisme di Indonesia itu apa saja," ujarnya.

Selain melibatkan milenial, pemerintah juga diharapkan melibatkan tokoh-tokoh publik. "Rekrutmen terorisme selain dilakukan tertutup, juga ada ruang publik yang dipakai dalam proses penjaringan seperti di media sosial," kata Nuning.

Baca juga : Lone Wolf, ISIS, dan Serangan Amatiran Janggal

Yang juga perlu diwaspadai adalah proses yang disebut "enabling environment" yaitu menormalisasi hal yang tidak normal dirasa normal. "Ini tidak boleh disepelekan dan harus jadi perhatian serius semua kalangan," ujar wanita yang juga aktif sebagai aktivis sosial kemanusiaan ini.

Mantan anggota DPR itu juga menjelaskan, militer dapat dilibatkan dalam penanganan terorisme. Penanganan terorisme di Indonesia selama ini cenderung masih dalam klasifikasi kejahatan terhadap publik sehingga cenderung ditangani Polri semata.

"Jika terorisme mengancam keselamatan Presiden atau pejabat negara lainnya sebagai simbol negara, maka terorisme tersebut menjadi kejahatan terhadap negara dan harus ditanggulangi oleh TNI," papar Nuning.

Pembicara lainnya, Alto Labetubun menjelaskan di Timur Tengah, kelompok teroris menggunakan berbagai platform teknologi untuk menjaga eksistensi organisasinya. "Walaupun secara wilayah ISIS tidak lagi menguasai Suriah namun mereka masih punya sistem di dunia siber atau 'cyber daulah'," kata analis keamanan yang hampir 20 tahun bertugas di Irak dan Suriah tersebut.

Alto berharap aparat pemerintah lebih melibatkan berbagai potensi masyarakat untuk mencegah terorisme. "Banyak anak bangsa yang jago-jago, misalnya ahli hacking yang punya jiwa merah putih," katanya.

Sebelumnya, pada Rabu (31/3) petang seorang wanita yang mengenakan pakaian serba hitam dan kerudung biru masuk ke dalam kawasan Mabes Polri. Ia sempat menodongkan senjata api kepada aparat yang sedang bertugas di sekitar gerbang Mabes Polri. Tidak menunggu lama terduga ia langsung dilumpuhkan dengan timah panas oleh petugas.

Baca juga : ZA Sering Sulit Dikontak Keluarga Sendiri

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement