Senin 19 Apr 2021 09:09 WIB

Lebanon Hadapi Ramadhan di Tengah Krisis Ekonomi Akut

Warga Lebanon terdampak impitan ekonomi yang parah di negara itu

Rep: Alkhaledi Kurnialam/ Red: Nashih Nashrullah
 Seorang pedagang memajang sayuran untuk persiapan Ramadhan di sebuah pasar di Beirut, Lebanon, Senin, 12 April 2021.
Foto: AP/Hassan Ammar
Seorang pedagang memajang sayuran untuk persiapan Ramadhan di sebuah pasar di Beirut, Lebanon, Senin, 12 April 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT— Banyak keluarga Muslim di Lebanon berjuang untuk membeli makanan buka puasa setiap hari selama bulan suci Ramadhan. Hal ini karena harga makanan melonjak di tengah krisis ekonomi terburuk di negara itu dalam beberapa dekade.

"Harganya gila-gilaan dan bahkan naik lebih selama Ramadhan. Sepiring salad akan berharga enam kali lebih mahal tahun ini," kata warga Beirut Um Ahmed dilansir dari Aljazirah, Sabtu (17/4). "Apa yang harus kita lakukan?  Apakah kita mengemis? Kami tidak terbiasa mengemis," tambahnya.

Baca Juga

Zeina Khodr dari Aljazirah, melaporkan dari Beirut, bahwa bagi jutaan orang di Lebanon, makanan menjadi barang mewah. Dia mengatakan bahwa meski Ramadhan adalah acara penting bagi umat Islam, sehingga banyak keluarga juga melakukan berbagai tradisi di Beirut. "Lampu, dekorasi, dan kios penjual minuman tradisional yang menjadi bahan pokok di meja buka puasa sudah habis," katanya. 

Ekonomi dan mata uang Lebanon telah terjun bebas, mengurangi daya beli masyarakat. Pound Lebanon turun menjadi LL 10 ribu terhadap dolar AS pada awal Maret, dan kemudian di bulan itu, turun menjadi LL 15 ribu yang belum pernah terjadi sebelumnya. Mata uang tersebut telah kehilangan sekitar 90 persen nilainya sejak akhir 2019.

“Mereka yang dulu membeli satu kilo sayuran sekarang membeli setengahnya, sementara yang lain membeli per potong, beberapa pergi begitu saja setelah mengetahui harganya,” kata Ahmed, seorang penjual sayur.

Satu bulan makan buka puasa untuk sebuah keluarga beranggotakan lima orang sekarang diperkirakan menelan biaya dua setengah kali lipat dari upah minimum yang bernilai Rp 871 ribu pada harga pasar gelap. Lebanon mengimpor sebagian besar makanannya dan terjadi kekurangan karena pemerintah kehabisan dolar.  “Gaji kami tidak berubah tetapi harga telah melonjak,” kata warga Hana Sader.

Meski gandum disubsidi pemerintah, harga roti juga mengalami kenaikan. Membeli satu bungkus roti sehari selama sebulan menghabiskan lebih dari 10 persen dari upah minimum. Badan amal diharapkan harus memperluas upaya mereka untuk membantu mereka yang membutuhkan, karena pengangguran di negara berpenduduk lima juta orang itu terus meningkat.

Maya Terro adalah salah satu pendiri FoodBlessed, sebuah organisasi yang memberi makan sekitar 1.600 keluarga setiap bulan. "Mereka mengatakan jika mereka tidak menerima kotak makanan bulan ini, itu mungkin berarti kami mungkin tidak berbuka puasa atau kami harus makan setengah dari jumlahnya," katanya kepada Al Jazeera.

Pandemi virus corona telah memperburuk ketimpangan sosial ekonomi, dengan lebih dari separuh keluarga Lebanon hidup dalam kemiskinan. Bulan lalu, protes melanda kota-kota Lebanon, dengan demonstran memasang penghalang jalan di jalan raya utama.

Selain itu, kebuntuan politik menambah kesengsaraan Lebanon karena Perdana Menteri yang ditunjuk Saad Hariri dan Presiden Michel Aoun terus berselisih mengenai pembentukan pemerintahan baru dan bagaimana kementerian akan dibuat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement