Selasa 20 Apr 2021 08:45 WIB

Mengapa Rasulullah SAW tak Diizinkan Perang Saat di Makkah?

Rasulullah SAW mendapat izin berperang saat berada di Madinah.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Nashih Nashrullah
Rasulullah SAW mendapat izin berperang saat berada di Madinah. Rasulullah SAW (ilustrasi)
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Rasulullah SAW mendapat izin berperang saat berada di Madinah. Rasulullah SAW (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Segelintir kelompok banyak yang mengidentikkan Islam sebagai agama perang. Padahal, faktanya tak demikian, bahkan perintah perang kepada Nabi Muhammad SAW diturunkan Allah dengan sejumlah fakta yang mencengangkan.

Pakar Ilmu Tafsir Prof Quraish Shihab dalam buku Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW menjelaskan, diduga keras izin berperang baru diberikan Allah pada tahun ke-2 Hijriyah. Artinya, semasa Nabi Muhammad SAW berdakwah di Makkah sebelum hijrah, meski dimusuhi dan dizalimi, Nabi dan umat Islam tidak melakukan perang.

Baca Juga

Namun, Prof Quraish mengemukakan bahwa sulit menentukan kapan persisnya izin itu datang. Bisa jadi, sebelum peristiwa Sariyah Nakhlah. Sebab, jika sesudah peristiwa itu terjadi, agaknya para pengintai tidak akan membunuh dan mengintai.

Adapun kecaman Nabi SAW kepada yang ditugaskan adalah: “Aku tidak menyuruh kalian bertempur.” Yakni jika pun sudah ada izin, tetapi melangkah melaksanakan izin itu haruslah atas petunjuk komandan.

 

Prof Quraish menjelaskan, kapan pun datangnya izin itu, yang jelas/sebelum terlibat dalam pertempuran, Nabi Muhammad SAW melakukan persiapan-persiapan yang diperlukan sehingga tujuan peperangan dapat diraih.

Dalam konteks persiapan itu, Nabi SAW menganjurkan para sahabat, bahkan diri Nabi sendiri, untuk melaksanakan latihan-latihan. Masjid Nabawi adalah salah satu arena latihan. Nabi Muhammad juga selalu mengingatkan perlunya terus-menerus meningkatkan kemampuan memanah yang mana pada masa Nabi merupakan senjata ampuh. Nabi bersabda dalam riwayat Uqbah bin Amir RA:

عْن عقبة بن عامر أَنَّهُ قَالَ: قَال رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: منْ عُلِّمَ الرَّمْيَ ثُمَّ تركَهُ، فَلَيس مِنَّا، أوْ فقَد عَصى “Man lam alima ar-ramya tsumma tarakahu falaysa minnaa aw qad ashaa.” Yang artinya: “Siapa yang mengajar memanah lalu dia meninggalkannya, maka dia bukan kelompok kami/dia telah melakukan kedurhakaan.” Hadits ini diriwayatkan Imam Muslim. Dalam hadits riwayat lain, Nabi juga bersabda: 

علموا أولادكم  الرماية و السباحة وركوب الخيل “Allimuu awlaadakum ar-rimaayata wassabaahata wa rukuuba al-khaili.” Yang artinya: “Ajarilah anak-anak kamu memanah, berenang, dan menunggang kuda.” 

Prof Quraish menjelaskan, tentu saja yang disebut dengan latihan fisik dan anjuran mengasah kemampuan tidaklah cukup. Yang lebih penting adalah ketahanan dan kekuatan mental serta jelasnya arah yang dituju.

Hal demikian juga menjadi perhatian Nabi Muhammad SAW yang amat besar yang senantiasa ditekankan. Perang dalam Islam pun memiliki aturan kemanusiaan yang ketat. Salah satunya adalah seorang prajurit Islam dalam perang tidak diperkenankan membunuh wanita, anak-anak, dan musuh yang sudah menyerah.

Pada periode Makkah, dapat dikatakan bahwa melawan kaum musyrikin dengan fisik bukanlah anjuran agama. Sebab, pada masa itulah turun izin bagi yang terpaksa untuk mengucapkan kalimat kufur selama hati tetap mantap dalam iman. Allah SWT berfirman dalam Alquran surat an-Nahl ayat 106: 

مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ “Man kafara billahi min ba’di imaanihi illa man ukriha wa qalbuhu muthma’inun bil-imani.”  Yang artinya: “Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), tetapi yang dipaksa kafir, padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (maka dia tidak berdosa).” 

Maka dapat dikatakan bahwa dalam periode Makkah, tidak dibenarkan berjihad dengan mengangkat senjata. Menurut ahli tafsir dan hukum Islam al-Qurthubi, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang terlarangnya mengangkat senjata pada periode Makkah. Dapat dilihat dalam firman Allah SWT surat Fushilat ayat 34: 

وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ۚ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ “Wa la tastawi al-hasanatu wa la as-sayyiatu idfa’ billati hiya ahsanu fa-idzalladzi bainaka wa bainahu adawaatun ka-annahu waliyyun hamimun.” 

Yang artinya: “Tidak sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antara engkau dengan dia ada permusuhan (segera akan berubah baik) seolah-olah dia telah menjadi teman yang sangat setia.”   

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement