Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Yudha Manggala P Putra

Tepuk Jidat

Curhat | Monday, 12 Apr 2021, 11:09 WIB

Siang itu mendadak temaram. Mendung yang tadinya tipis sudah menelan langit dan matahari. Gerimis pun bertaburan mengetuk-ngetuk tanah. Gemercik mengalun kian tergesa-gesa, dikejar guruh yang sesekali pecah di udara.

Di tengah aspal Jalan Margonda Raya, Depok, puluhan ban sepeda motor dan mobil membelah serakan air yang mulai berhamburan. Ada yang lajunya kencang, sebagian penuh keraguan. Motor saya salah-satunya. Duh, terlambat deh masuk kerja, gerutu saya di atas matik merah sembari menyeka kaca helm yang dari tadi terus dikerubungi air.

Hari itu Senin pekan terakhir Januari. Saya mestinya masuk pukul 13.00 WIB. Jadwal kerja memang tiap harinya tidak sama. Kebetulan hari itu giliran siang. Biasanya saat ketemu jadwal itu saya sudah berangkat dari rumah pukul 12.00 WIB. Kali ini tidak. Baru pergi 12.40 WIB!

Saya tinggal di kawasan Pancoran Mas, Depok, Jawa Barat. Tempat kerja di Jalan Warung Buncit, Pejaten, Jakarta Selatan. Jarak dari rumah ke kantor sekitar 18 kilometer. Normalnya butuh 35-45 menit menempuhnya dengan kecepatan motor rata-rata 60-80 km/jam.

Namun seringkali beda cerita kalau sedang hujan. Terutama bila deras. Tidak hanya kadang macet, kondisi jalan jadi licin dan penuh genangan air. Jadinya perlu ekstra hati-hati mengendarai motor. Dengan kata lain, sulit ngebut.

Dan dengan segala rintangan yang berpotensi mengadang itu, kali ini saya harus sampai ke kantor dalam 20 menit? Alamaak

Dan gerimis kemudian berganti wujud jadi hujan deras. Memasuki ujung jalan Margonda, tepatnya di jembatan layang dekat pintu masuk Universitas Indonesia, kemacetan mulai terasa. Kendaraan berjalan merayap menuju lorong di bawah flyover tersebut.

Merasa supertelat, diri ini coba memaksakan mencari celah. Bak bintang sepak bola mengecoh lawan, saya liuk-liukan motor melewati beberapa mobil. Selip kanan, selip kiri, wuswus, berhasil. Setidaknya butuh lima menitan dari jembatan untuk sampai lima meter ke depan.

Pantas saja macet. Belasan motor parkir menjejali separuh jalanan di lorong itu. Hanya menyisakan separuh jalan untuk kendaraan lain melintas. Motor-motor yang menyemut itu sepertinya milik pengendara yang tidak membawa jas hujan dan memilih berteduh.

Selepas lorong itu, barulah jalanan terlihat lebih lengang. Saya pun memacu kendaraan lebih kencang. Rupanya tidak bertahan lama. Di beberapa titik jalan, di depan stasiun kereta Lenteng Agung dan Tanjung Barat, kondisinya sama, macet. Kali ini hanya bisa pasrah membebekki motor lain mengantre.

Eh, memasuki kawasan menuju Pasar Minggu, jalanan tiba-tiba lowong. Kesempatan bagus nih, pikir saya. Ogah saya sia-siakan. Motor saya geber sekencang-kencangnya. Entah berapa kecepatannya. Yang penting bisa cepat sampai.

Keputusan itu ternyata nyaris berujung petaka. Entah, ada angin apa, di jalanan sepi tak jauh dari Pasar Minggu, sebuah sedan di depan saya tiba-tiba ngerem mendadak. Suara ban berdecit-decit menyeruak seketika saya berusaha menghindari sambil mencoba mengurangi kecepatan dengan spontan.

Jarak ban depan motor dengan mobil mungkin sempat menyisakan beberapa sentimeter saja. Astaghfirullah, teriak spontan usai berhasil melewati pantat sedan berpelat nomor Jakarta tersebut.

Seolah tanpa dosa, mobil itu ya kembali melaju cepat dan berlalu. Meninggalkan saya masih dengan degup jantung berirama berantakan dekat kubangan air di kiri jalan. Ada niat mengejar sedan tersebut. Tapi sudahlah, pikir saya menjaga emosi. Selain sedikit kurang berhati-hati, sudah telat juga.

Sejurus kemudian saya melanjutkan perjalanan. Kali ini rasanya cukup dengan kecepatan sedang.

.

Gelap mulai berganti terang saat saya tiba di pelataran parkir gedung kantor. Gerimis masih menitik. Sedikit. Sinar matahari juga mulai menyeruak di sela-sela awan tipis berwarna abu-abu.

Dengan tergesa-gesa saya menuju ke ruangan di basemen kantor tak jauh dari lokasi parkir. Saya tanggalkan jas hujan dan helm, lalu menaruhnya di atas sebuah lemari di ruangan itu. Wah, sudah jam berapa nih? tanya dalam hati sembari merogoh ponsel dalam tas. Pukul 13.40 WIB!

Langkah pun saya percepat, menaiki tangga, lalu menuju depan pintu lobi kantor. Sambil menggesek-gesekan sepatu basah di karpet depan pintu, saya iseng mengecek ponsel.

Tumben, saat melihat tidak ada satu pun notifikasi pesan di aplikasi BlackBerry Messenger dan WhatsApp saya. Biasanya, kalo telat begini ada saja rekan yang mengingatkan, seringkali Si Bos langsung. Di mana, kok belum di kantor? biasanya isi pesan itu. Tapi kali ini sepi. Mungkin mereka terlalu sibuk bekerja.

Entah kenapa, perasaan tidak enak mulai iseng menyeruak. Saya memutuskan merogoh ponsel dan membukanya kembali. Kali ini untuk memastikan jadwal kerja, yang lembarannya tersimpan dalam surel.

Terkejut bukan main. Jari menggeser-geser layar ponsel berulang kali, sekadar ingin memastikan. Ternyata eh ternyata, hari itu saya keliru melihat jadwal. Senin ini harusnya jatah libur. Duh! celetuk saya sambil tepuk jidat.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image