Ramadhan Bangkitkan Nostalgia di Antara Pengungsi Rohingya

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Esthi Maharani

Kamis 22 Apr 2021 15:10 WIB

Pengungsi Rohingya di kamp pengungsi Balikhali yang disiapkan khusus untuk janda dan anak yatim, Cox Foto: Damir Sagolj/Reuters Pengungsi Rohingya di kamp pengungsi Balikhali yang disiapkan khusus untuk janda dan anak yatim, Cox

REPUBLIKA.CO.ID, Salah seorang pengungsi Rohingya, Maryam Begum (35 tahun) terpaksa hidup di kamp Cox Bazaar, Bangladesh selatan. Dia bersama keluarganya tinggal di tenda darurat yang padat dan terbuat dari lembaran terpal. Saat waktu buka puasa, ia sibuk memberi makan anaknya yang berusia dua tahun.

Para pengungsi sama sekali tidak terpesona dengan keindahan alam lingkungan Bangladesh. Mereka hanya mengingat semua kejadian yang menimpanya, yaitu pembunuhan, pembakaran, penyiksaan, dan pemerkosaan. Jika umat Islam di belahan bumi lain dapat merayakan Ramadhan bersama keluarga atau kerabat, para pengungsi Rohingya harus menjalani Ramadhan penuh dengan kesengsaraan.

Mereka merindukan beberapa ritual keagamaan yang meriah. Setelah melarikan diri dari tindakan yang tidak manusiawi tiga tahun lalu, pengungsi Rohingya telah tinggal di kamp-kamp Bangladesh. Mereka terpaksa meninggalkan banyak orang yang mereka cintai di Rakhine yang dibunuh secara brutal oleh militer negara.

Begum menceritakan suami dan ayah mertuanya adalah petani. Saat di Myanmar, mereka memiliki lahan besar yang bisa diolah. Penghasilan suami dan ayah mertuanya dari bertani, dapat menghidupkan keluarga Begum dengan baik. “Akan tetapi, militer Myanmar membunuh ayah mertua saya seperti pemburu menembak burung dan membakar rumah kami,” kata Begum, dilansir TRT World, Kamis (22/4).

Usai insiden tersebut, Begum menyelamatkan diri dan melakukan perjalanan selama sepekan melewati hutan dan sungai bersama suami dan dua anaknya. Mereka akhirnya bisa mencapai tanah Bangladesh.

“Sekarang saya adalah ibu dari empat anak dan kami enam anggota keluarga berjuang untuk bertahan hidup di sebuah tenda kecil,” ujar dia.

Sambil mengenang masa lalu, Begum menuturkan ketika masih di Myanmar, sebelum waktu berbuka puasa, suami dan ayah mertuanya pulang dengan membawa makanan lezat dari pasar. Mereka biasa berbuka puasa bersama tetangga. Bagi Begum, Ramadhan adalah momen untuk menjalani ibadah.