Senin 26 Apr 2021 16:44 WIB

Melemah, IHSG Tertekan Lonjakan Kasus Covid di India

Sepanjang hari ini investor asing membukukan penjualan bersih sebesar Rp 226 miliar.

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Nidia Zuraya
Karyawan mengamati pergerakan harga saham di Jakarta. ilustrasi
Foto: Antara/Muhammad Adimaja
Karyawan mengamati pergerakan harga saham di Jakarta. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir di zona merah pada perdagangan awal pekan ini, Senin (26/4). IHSG ditutup melemah 0,86 persen atau terkoreksi 52 poin ke level 5.964. Sementara indeks LQ45 ditutup turun lebih dalam sebesar 1,17 persen. 

Sektor keuangan, infrastruktur, industri dasar, perkebunan, perdagangan, industri konsumsi mendominasi pergerakan IHSG sehingga menjadi kontributor terbesar pada penurunan IHSG hari ini. Sedangkan investor asing membukukan penjualan bersih sebesar Rp 226 miliar. 

Baca Juga

Direktur Asosiasi Riset dan Investasi Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nico Demus mengatakan pergerakan IHSG hari ini mendapat tekanan dari perkembangan kasus Covid-19 di India. 

"Penyebaran Covid-19 di India berpotensi menghambat arus ekspor dimana India saat ini tercatat sebagai konsumen terbesar produk Indonesia," kata Nico, Senin (26/4). 

Di sisi lain, kenaikan dari harga CPO memberikan tekanan pada harga biodiesel yang juga lebih tinggi dibandingkan solar. Nico melihat, hal ini dapat memicu kekhawatiran pasar, terlebih jika India kembali mengetatkan impor sehingga berpotensi menurunkan perolehan ekspor pada kuartal kedua. 

Di tengah ancaman kenaikan kasus Covid-19 di India, para kartel minyak yang tergabung dalam OPEC+ berencana untuk meningkatkan sejumlah pasokan ke pasar. Meski secara bertahap banyak yang khawatir pemulihan permintaan minyak masih akan mengalami hambatan. 

"Hal ini menjadikan downside risk di pasar menjadi semakin tinggi," tutur Nico. 

Secara umum, pergerakan pasar saham Asia pada awal pekan ini cenderung menguat menjelang musim rilis pendapatan kuartal I yang akan segera diumumkan dalam jangka waktu dekat. Rilis data ekonomi pada kuartal I dan II di negara maju memberikan sinyal pemulihan ekonomi dunia yang saat ini semakin dekat. 

Menurut Nico, saat ini investor mencermati potensi kenaikan pajak perusahaan di Amerika Serikat (AS) yang dinilai dpaat memberikan hambatan terkait pemulihan tersebut. Sehingga, pergerakan harga saham menjadi lebih terbatas meskipun saat ini ruang pemulihan lebih besar dari sebelumnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement