Selasa 27 Apr 2021 08:00 WIB

Pendekatan Pasar, Kunci Kembangkan Hutan Berbasis Masyarakat

Dalam pendekatan pasar, Market Access Players (MAP) menggantikan peran dari perantara

Panjangnya rantai suplai usaha hutan berbasis masyarakat dan konsumen akhir dalam industri kehutanan kerap menjadi penyebab nilai ekonomi yang diterima masyarakat kurang optimal. Pendekatan pasar (market driven approach) memberikan solusi atas problema ini. Model pendekatan seperti ini yang tengah dikembangkan KLHK bersama Multi-stakeholders Forestry Programme Tahap 4 (MFP4).
Foto: istimewa
Panjangnya rantai suplai usaha hutan berbasis masyarakat dan konsumen akhir dalam industri kehutanan kerap menjadi penyebab nilai ekonomi yang diterima masyarakat kurang optimal. Pendekatan pasar (market driven approach) memberikan solusi atas problema ini. Model pendekatan seperti ini yang tengah dikembangkan KLHK bersama Multi-stakeholders Forestry Programme Tahap 4 (MFP4).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA--Panjangnya rantai suplai usaha hutan berbasis masyarakat dan konsumen akhir dalam industri kehutanan kerap menjadi penyebab nilai ekonomi yang diterima masyarakat kurang optimal. Pendekatan pasar (market driven approach) memberikan solusi atas problema ini. Model pendekatan seperti ini yang tengah dikembangkan KLHK bersama Multi-stakeholders Forestry Programme Tahap 4 (MFP4).

Dalam pendekatan pasar, Market Access Players (MAP) menggantikan peran dari perantara. MAP baik berupa organisasi atau perusahaan, bekerjasama langsung dengan masyarakat dan menghubungkan produk hasil hutan ke pembeli berskala besar. Mereka juga melakukan pendampingan dan pengembangan kapabilitas masyarakat sekitar kawasan hutan.

"Salah satu faktor kunci pengembangan usaha hutan berbasis masyarakat yaitu pendampingan di lapangan dan peningkatan kapasitasnya. Hal ini akan membuat posisi tawar petani pengelola usaha hutan memperoleh manfaat optimal dari komoditas hasil hutan yang diproduksi," kata Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) Misran, saat berdialog dengan kelompok petani Hutan Kemasyarakatan (HKm) Sedyo Lestari di Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sabtu (24/4).

Manager Stakeholder Engagement MFP4, Hening Parlan menjelaskan pendekatan pasar yang dikembangkan MFP4 dengan tiga prinsip yaitu kelestarian hutan, kesejahteraan komunitas dan keberlanjutan usaha. Model ini menjadi salah satu pendekatan yang mampu memberikan jawaban atas kegelisahan bisnis kehutanan di masyarakat.

 

“Dengan merespon terhadap kebutuhan pasar yang jelas, produksi hasil hutan akan sesuai dengan tren pasar dan kebutuhan pelanggan. Model ini memastikan bisnis bersifat keberlanjutan dan memberikan dampak positif terhadap masyarakat dan lingkungan,” ujar Hening.

Ketua Paguyuban Bukit Seribu, Sudarmi mengatakan pendekatan pasar mampu memberikan perbedaan dimana harga jual kayu kelompoknya mendapatkan harga yang optimal dan merata. Dia juga mengungkapkan anggota kelompoknya begitu terbantu dengan fasilitasi dan pendampingan yang diberikan.

"Untuk pemasaran kayu, kini tidak menjadi masalah karena ada fasilitasi. Jadi sekarang tidak berhubungan langsung dengan pembeli, melainkan melalui koperasi, sehingga harga jualnya rata dan akan memberikan manfaat yang lebih besar pada kelompok," tuturnya.

Paguyuban Bukit Seribu, merupakan wadah komunikasi kelompok Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Gunungkidul. Sudarmi menjelaskan sejak mendapatkan izin pada tahun 2007, anggota kelompoknya bisa melaksanakan panen kayu jati pada tahun 2019. Pada tahun ketiga ini, ada 12 kelompok yang siap melakukan pemanenan, yang diatur satu kelompok tiap bulannya.

Saat berdialog, Sudarmi mengutarakan keinginan kelompoknya agar selain kembali menanam jati, mereka dapat menanam tanaman lain yang hasilnya dapat dirasakan jangka pendek dan menengah.

"Selain itu, kami juga menginginkan penantian puluhan tahun menanam pohon jati ini, terbayar dengan harga yang maksimal bisa kami dapatkan. Termasuk solusi untuk pemanfaatan kayu-kayu ukuran kecil, tidak hanya menjadi kayu bakar, tetapi dapat diolah menjadi sesuatu yang bernilai lebih," katanya.

Menanggapi hal tersebut, Sekditjen PHPL, Misran menjelaskan terbitnya UU Cipta Kerja, dalam perizinan berusaha memungkinkan pemegang izin untuk melakukan multi usaha/bisnis kehutanan, tidak semata menanam kayu saja. Jadi, skema multibisnisnya diatur dalam Rencana Kerja Tahunan (RKT), baik jangka pendek, menengah, maupun panjang.

"Jadi usaha itu tidak hanya satu, kalau dulu HPH misalnya hanya menghasilkan kayu. Ada banyak hal dan usaha yang bisa dikembangkan di lahan yang ada di sini. Sejauh sesuai regulasi, kami mendukung rencana pengembangannya," katanya.

Ke depan, Misran mengungkapkan multi bisnis seperti jasa lingkungan dan hasil hutan bukan kayu (HHBK) akan terus berkembang. Apalagi sekarang multi bisnis ini menjadi sesuatu yang legal sesuai dengan ketentuan regulasi.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement