Selasa 27 Apr 2021 15:38 WIB

Dekati Batas Waktu, Restrukturisasi Jiwasraya Baru 74 Persen

Batas waktu penyelesaian restrukturisasi polis Jiwasraya pada akhir Mei 2021.

Rep: Novita Intan/ Red: Nidia Zuraya
Seorang teller melayani nasabah di kantor pelayanan Jiwasraya.
Foto: Dok. Republika
Seorang teller melayani nasabah di kantor pelayanan Jiwasraya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- PT Jiwasraya (Persero) Tbk menyebut saat ini batas waktu penyelesaian restrukturisasi semakin dekat. Saat ini restrukturisasi polis Jiwasraya belum cukup signifikan, khususnya polis dari nasabah ritel.

Adapun batas waktu penyelesaian restrukturisasi polis Jiwasraya jatuh pada akhir Mei mendatang. Tercatat per Jumat (23/4), progres restrukturisasi polis ritel Jiwasraya baru 74,8 persen. 

“Itu berarti masih ada 45.021 nasabah ritel dari total nasabah ritel Jiwasraya yang mencapai 179.253, belum mengikuti program restrukturisasi tersebut,” ujar Koordinator Juru Bicara Tim Percepatan Restrukturisasi Jiwasraya R Mahelan Prabantarikso saat acara dialog Penerapan GCG Industri Asuransi secara virtual, Selasa (27/4).

Menurutnya tim percepatan mengalami kesulitan untuk menjangkau nasabah yang tersebar di 74 cabang di Indonesia. Hal tersebut terkait alamat pengiriman surat nasabah yang tidak sesuai.

 

“Kami mengalami kesulitan terkait surat yang dikirim ke nasabah banyak yang kembali dengan jumlah hingga ribuan. Upaya-upaya akan dilakukan untuk mencari alamat nasabah tersebut agar nanti pada 31 Mei dapat tercover dengan baik,” ucapnya.

Dia menyebut nasabah yang pindah alamat dan mengetahui informasi restrukturisasi ini dapat langsung datang ke kantor cabang terdekat untuk mengikuti program restrukturisasi. Tak hanya nasabah dari ritel, restrukturisasi polis yang berasal dari korporasi juga masih belum mencapai 100 persen. 

Berdasarkan data terakhir, baru 80,1 persen polis korporasi yang mengikuti program restrukturisasi ini. Sedangkan polis yang berasal dari bancassurance sudah mencapai 92,7 persen dari total polis 17.459.

Mahelan mengungkapkan restrukturisasi ini merupakan upaya maksimal yang sudah dilakukan oleh manajemen. Meskipun demikian, dia menyadari upaya tersebut tidak bisa memuaskan semua orang.

“Prinsipnya, kemampuan yang sudah kami lakukan itu maksimal. Harapannya, kami bisa melakukan normalisasi karena kami juga tidak bisa memberi subsidi misal dengan memberi suku bunga mencapai sembilan persen hingga 44 persen,” ucapnya.

Sementara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai tata kelola perusahaan yang tidak baik sebagai akar permasalahan dari sejumlah kasus asuransi. Adapun masalah itu perlu diatasi dengan implementasi regulasi dan komitmen seluruh pihak.

Direktur Pengawasan Asuransi OJK Supriyono mengatakan isu tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate governance (GCG) kembali menemukan relevansinya saat ini. Tekanan ekonomi akibat Covid-19 membuat dunia usaha menghadapi guncangan hebat dan menguji kualitas tata kelolanya.

“Bagi industri asuransi, isu GCG menjadi sorotan karena adanya sejumlah perusahaan yang mengalami gagal bayar. Isu itu pun mendapat perhatian besar di tengah pandemi, saat daya beli masyarakat menurun dan kinerja investasi terkoreksi, sehingga bisnis asuransi menghadapi tantangan,” ucapnya.

Menurutnya, penguatan GCG menjadi hal penting bagi industri, khususnya untuk melindungi kepentingan investor dan pemegang polis. Berbagai persoalan yang ada pun perlu diselesaikan sampai ke akarnya, yakni implementasi GCG.

"Pandemi Covid-19 menjadi bukti, hanya perusahaan yang memiliki GCG dengan implementasi bagus yang mampu bertahan. Kita pun perlu meninjau ulang isu-isu fundamental, apa saja yang masih bolong-bolong untuk kita improve lagi," ucapnya.

Supriyono menjelaskan pembenahan GCG merupakan wewenang dari pengurus suatu perusahaan, sehingga diperlukan integritas yang kuat dari manajemen. Hal itu pun dapat didukung oleh auditor eksternal dan komisaris independen yang mewakili kepentingan pemegang polis.

“Kecukupan struktur organisasi menjadi sangat penting, khususnya bagi perusahaan-perusahaan yang sedang bermasalah,” ucapnya.

Menurutnya keberadaan komisaris dan direksi bukan semata-mata untuk memenuhi kewajiban, tetapi harus benar-benar berfungsi. Dalam pembenahannya, menurut OJK, manajemen perusahaan asuransi perlu fokus dalam aspek tata kelola investasi, manajemen risiko, pengendalian internal, hingga rencana strategis perusahaan. 

“Selain itu, keterbukaan informasi dan hubungan dengan otoritas pun perlu diperkuat. Kalau pakai metafora, GCG benar-benar seperti akar, tidak kelihatan dari luar tapi nantinya akan terlihat di buah dan daunnya dalam produk dan service yang dilihat orang. Jika akarnya kuat, ada angin puyuh seperti apa pun akan tegak berdiri walaupun ada daun dan buah yang rontok," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement