Selasa 11 May 2021 23:39 WIB

Pro Kontra Pengabaian Perlindungan Hak Paten Vaksin COVID-19

Pro Kontra Pengabaian Perlindungan Hak Paten Vaksin COVID-19

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
Pro Kontra Pengabaian Perlindungan Hak Paten Vaksin COVID-19
Pro Kontra Pengabaian Perlindungan Hak Paten Vaksin COVID-19

Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen menyatakan kesediaannya untuk menjajaki proposal mengesampingkan sementara perlindungan Kekayaan Intelektual vaksin virus corona setelah Presiden AS Joe Biden pada Rabu (05/05) mengusung rencana tersebut.

"Hal utama adalah kami harus mempercepat ini," kata Menteri Luar Negeri AS Anthony Blinken pada Kamis (06/05) ketika India tengah berjuang memerangi wabah COVID-19.

Pengabaian pembahasan hak paten adalah "salah satu cara yang mungkin dilakukan untuk meningkatkan produksi vaksin," katanya.

Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Ngozi Okonjo-Iweala mengatakan kepada negara-negara anggota bahwa dia "menyambut baik" langkah AS itu. "Kami perlu segera menangani COVID-19 karena dunia sedang menyaksikan orang-orang sekarat," katanya.

Melalui media sosial Twitter, Kepala Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus merespons langkah Biden dengan mencuitkan "MOMEN MONUMENTAL DALAM PERANG TERHADAP #COVID19," dan mengatakan keputusan itu mencerminkan "kebijaksanaan dan kepemimpinan moral Amerika Serikat."

Pandangan berbeda mengenai pengabaian hak paten

Terlepas dari antusiasme itu, sejumlah produsen farmasi dan kritikus menemukan kekurangan dalam proposal pengabaian sementara perlindungan Kekayaan Intelektual vaksin corona.

Kompleksitas manufaktur tidak mampu untuk dapat meningkatkan produksi vaksin dengan segera, kata mereka.

Moderna telah melepaskan hak patennya pada Oktober 2020, dan pada Kamis (06/05) melaporkan kurangnya perusahaan yang bisa dengan cepat memproduksi vaksin serupa dan mendapatkan persetujuan untuk itu.

Sejumlah pihak menilai pengabaian hak paten dalam jangka panjang akan membuat perusahaan farmasi enggan merespons ancaman kesehatan global di masa depan.

Jerman tolak gagasan AS

Jerman sebagai negara dengan kekuatan ekonomi terbesar UE dan rumah bagi perusahaan farmasi besar menolak gagasan tersebut, dengan mengatakan kekurangan dosis vaksin disebabkan kapasitas produksi dan standar kualitas yang terbatas.

Menteri Kesehatan Jens Spahn mengaku memiliki pandangan yang sama dengan Biden untuk menyediakan vaksin bagi seluruh dunia. Namun, seorang juru bicara pemerintah mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa "perlindungan kekayaan intelektual adalah sumber inovasi dan harus tetap disahkan di masa depan."

Pengabaian hak paten vaksin corona akan memakan waktu selama berbulan-bulan untuk proses negosiasi dan membutuhkan kesepakatan bulat di antara 164 negara anggota WTO.

Tidak mengatasi tantangan yang sebenarnya

Harga saham produsen obat sebagian besar pulih setelah sempat turun tajam, tak lama usai Biden mendukung gagasan mengesampingkan sementara perlindungan hak paten vaksin.

"Yang jadi hambatan bukanlah akses atau paten (atau harga), tetapi karena tidak ada cukup botol, bahan mentah, dan lain-lain untuk membuatnya, terlepas dari pengesahan hak patennya," kata analis Jefferies Michael Yee tentang peningkatan produksi vaksin COVID-19.

Kelompok lobi utama industri farmasi, PhRMA, mengatakan: "Keputusan itu tidak mengatasi tantangan nyata, yakni memproduksi lebih banyak vaksin, termasuk distribusi jarak jauh, dan ketersediaan bahan mentah yang terbatas."

Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan dia "sangat mendukung" membuka kekayaan intelektual. Namun, seorang pejabat pemerintah Prancis mengatakan kekurangan pasokan vaksin adalah akibat dari kurangnya kapasitas dan bahan produksi, bukan karena hak paten.

"Saya akan mengingatkan Anda bahwa Amerika Serikat belum mengekspor satu dosis pun ke negara lain dan sekarang berbicara tentang pencabutan paten," kata pejabat itu.

Amerika Serikat diketahui telah mengirimkan beberapa juta dosis vaksin yang tidak digunakannya ke Meksiko dan Kanada, meski statusnya pinjaman.

Afrika Selatan dan India membuat proposal pengabaian hak paten vaksin di WTO pada Oktober lalu, dan kemudian mengumpulkan dukungan dari banyak negara berkembang. Hingga saat ini, Uni Eropa telah menjalin kesepakatan dengan sejumlah negara, termasuk Inggris dan Swiss - rumah bagi perusahaan farmasi besar - yang menentang pengabaian tersebut.

ha/gtp (Reuters)

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement