Jumat 21 May 2021 12:16 WIB

Antisemitisme di Jerman dan Sikap Muslim

Aksi protes menentang konflik Israel-Palestina di Jerman melibatkan gerakan antisemit

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
Antisemitisme di Jerman dan Sikap Muslim
Antisemitisme di Jerman dan Sikap Muslim

Mazen, seorang pengungsi Suriah berusia 30 tahun, memprotes kekerasan yang dilakukan Israel. "Teman-teman dan saya menentang pengusiran ilegal orang-orang dari rumah mereka. Kami menolak pembunuhan anak-anak dan pemboman yang tidak perlu terhadap gedung-gedung dan infrastruktur penting," katanya.

Mazen punya opini yang kuat terkait tindakan Israel: "Saya menjadi pembohong jika saya mengatakan bahwa kita ingin berteman dengan negara Israel. Tetapi negara itu ada. Kita harus menghadapinya." Sikap ini mendorong dia untuk mengikuti demonstrasi di Berlin. Posisi yang diusung Mazen, untuk kalangan luas publik di Jerman merupakan hal yang kontroversial.

Tidak semua demonstrasi terkait antisemit

Mazen mengakui ada gerakan antisemit. "Anda tidak bisa mengendalikan semua orang," ucapnya. Dia meyakini selalu ada segelintir pengunjuk rasa yang akan berperilaku buruk.

"Hal yang sama terjadi di Suriah. Kita semua akan berdemonstrasi untuk nilai-nilai demokrasi, tetapi akan selalu ada beberapa orang di kerumunan yang menyerukan negara Islam. Di Jerman, ada beberapa orang yang meneriakkan hal-hal antisemit. Tetapi Anda tidak dapat mengatakan bahwa seluruh aksi protes itu adalah antisemit."

Pada saat yang sama, tidak mungkin bagi orang Jerman untuk mengabaikan pernyataan atau ucapan antisemit, yang dilontarkan dalam sebuah demonstrasi besar.

Para pengunjuk rasa di kota Gelsenkirchen meneriakkan "orang Yahudi sialan." Hal ini memicu perdebatan tentang antisemitisme di kalangan muslim dan pendatang.

Aiman Mazyek,ketua Komite Sentral Muslim di Jerman menjelaskan pendapatnya: "(Saya) secara tegas mengutuk adegan yang menjijikkan itu," tulisnya di Twitter. "Mereka yang mengeluhkan rasisme, tetapi kemudian menyebarkan kebencian antisemit telah menihilkan segalanya." Mayzek dalam cuitannya juga menegaskan, barangsiapa menyebutkan mengritik Israel, tapi menyerang sinagoga dan warga Yahudi, berarti menyerang kita semua, dan akan mendapat perlawanan dari saya.

Senada dengan Mazyek, Eren Guvercin, pendiri Muslim Alhambra Society di Jerman, yang mempromosikan pemahaman internasional, tidak terkejut dengan video tersebut. Antisemitisme di kalangan muslim Jerman kadang-kadang terlihat dan paling sering terjadi ketika kekerasan di Timur Tengah meningkat. "Tapi itu tidak berarti itu tidak terjadi di masa-masa tenang," katanya.

Antisemitisme adalah komponen ideologis utama bagi sejumlah organisasi Islam ekstremis, Guvercin menjelaskan. Hal itu bahkan berupaya dipromosikan di kalangan muslim yang lebih moderat. "Ini adalah sesuatu yang harus kita tangani sebagai muslim, yang pertama dan terutama. Tetapi seringkali ini gagal karena masalahnya sendiri bahkan tidak dapat disebutkan namanya."

Reaksi yang problematis

Seorang akademisi Islam, Lamya Kaddor menunjuk poin penting lainnya: "Serangan terhadap sinagoga itu mengerikan, memalukan," dia menekankan. Tapi dia juga menyebutkan, reaksi dari pubik Jerman terhadap masalah ini juga probematis.

"Kita telah berurusan dengan [antisemitisme] ini untuk waktu yang lama di negara ini. Tetapi kita tidak boleh mengadu domba satu minoritas dengan minoritas lain. Itu hanya akan memecah belah komunitas kitai lebih jauh lagi."

Sebagai seorang muslim, Rachid Amjahad, Kepala Masyarakat untuk Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan Maghreb yang berbasis di Düsseldorf, percaya bahwa sangat penting untuk berbicara dengan jelas menentang antisemitisme. "Di sisi lain, kami juga harus memberikan solidaritas ketika lembaga denominasi lain diserang. Solidaritas bukanlah jalan satu arah", tegasnya.

"Tidak dapat diterima"

Guvercin dari Alhambra Society menyesalkan dengan apa yang disebut sebagai "standar ganda" di antara beberapa pengunjuk rasa pro-Palestina di Jerman: "Mereka yang meneriakkan 'orang Yahudi sialan' di depan sinagoga dan menolak hak Israel untuk hidup adalah antisemit dan tidak tertarik pada perdamaian."

Profesor Teologi Islam Bulent Ucar dari Universitas Osnabrück mengatakan, kecenderungan antisemit tidak semuanya sama. Asal-usul keluarga dan pengalaman pribadi juga membuat perbedaan. "Seorang muslim dari Bosnia biasanya akan memiliki relasi yang sangat berbeda terkait Israel dengan misalnya muslim dari Suriah," katanya.

Solusi untuk masa depan

Dalam jangka panjang, ada hal lain yang perlu dipertimbangkan, kata Orkide Ezgimen dari Kreuzberg Initiative untuk melawan antisemit di Berlin. Di satu sisi, tanggung jawab historis Jerman karena Holocaust "sepenuhnya benar", katanya.

"Tapi di sisi lainnya, politik Jerman belum berhasil menyebarkan pesan itu ke seluruh populasi secara merata," jelasnya. Terkadang hal ini memberi kesan kepada pengungsi dari zona perang dan krisis bahwa pengalaman mereka sendiri dianggap kurang penting. "Hal ini dengan cepat mengarah pada perjuangan untuk mendapatkan pengakuan," papar Ezgimen.

Dalam jangka pendek, fokusnya harus pada menjaga dampak konflik Timur Tengah di Jerman, kata aktivis Maghreb Society Amjahad. "Kalau protes dilakukan di depan sinagoga, itu menjadi sangat berbahaya,” pungkasnya. "Karena itu akan mengubah konflik teritorial menjadi konflik agama. Dan itu akan sangat sulit diselesaikan." (ha/as)

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement