Senin 24 May 2021 09:20 WIB

Pejabat PBB Frustrasi dengan Kekerasan Terhadap Gaza

Lazzarini mengunjungi RS Shifa, tempat

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Teguh Firmansyah
Sebuah kawah penuh air dan sisa-sisa limbah di mana rumah Ramez al-Masri dihancurkan oleh serangan udara sebelum gencatan senjata tercapai setelah perang 11 hari antara penguasa Hamas Gaza dan Israel, Ahad, 23 Mei 2021, di Beit Hanoun, Jalur Gaza utara.
Foto: AP / John Minchillo
Sebuah kawah penuh air dan sisa-sisa limbah di mana rumah Ramez al-Masri dihancurkan oleh serangan udara sebelum gencatan senjata tercapai setelah perang 11 hari antara penguasa Hamas Gaza dan Israel, Ahad, 23 Mei 2021, di Beit Hanoun, Jalur Gaza utara.

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Komisaris Jenderal Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) Philippe Lazzarini mengunjungi Jalur Gaza pada Ahad (23/5). Itu merupakan kunjungan perdananya ke sana setelah pertempuran terbaru yang berlangsung selama 11 hari.

"Saya sangat frustrasi dengan episode kekerasan ekstrem yang tidak masuk akal yang menewaskan warga sipil, menghancurkan infrastruktur, dan membuat Gaza mundur beberapa tahun,” kata Lazzarini, dikutip laman kantor berita Palestina WAFA.

Baca Juga

Agresi terbaru Israel ke Gaza menyebabkan setidaknya 248 orang terbunuh, termasuk 66 anak-anak dan 39 wanita. Menurut Lazzarini, dari total anak yang tewas, 16 di antaranya bersekolah di sekolah UNRWA. “Mereka dikenal dengan baik oleh rekan-rekan saya,” ujarnya.

Lazzarini mengunjungi Rumah Sakit Shifa, yakni rumah sakit terbesar di Gaza. Di sana dia bertemu Sarah, seorang anak berusia lima tahun yang lumpuh akibat pecahan peluru saat serangan udara Israel menghantam gedungnya.

Lazzarini juga mengunjungi lokasi bangunan tempat sepuluh keluarga Abu Hatab terbunuh oleh serangan Israel. “Dampak psikososial abadi dari kekerasan tidak dapat diukur. Krisis kesehatan mental yang terjadi selanjutnya akan membutuhkan pendanaan penuh dari layanan psikososial kami,” ucapnya.

Lazzarini pun mengunjungi keluarga-keluarga di kamp pengungsi Jabaliya serta bertemu staf UNRWA yang melaksanakan upaya bantuan darurat, seperti memperbaiki pipa air besar dan mengorganisasi bantuan untuk para pengungsi di sekolah UNRWA.

“Setiap pagi selama konflik 11 hari, kolega kami pergi bekerja tanpa mengetahui apakah mereka akan kembali ke keluarga mereka," katanya.

Dia mengingatkan komunitas internasional tanpa mengatasi akar penyebab konflik, pendudukan, termasuk pemindahan paksa di wilayah Yerusalem Timur. Ketenangan saat ini hanya akan menjadi fatamorgana sampai konflik berikutnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement