Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Alfina Rahmatia

Untuk Kamu yang Bilang Bank Syariah dan Bank Konvensional Sama Saja

Eduaksi | Monday, 24 May 2021, 14:24 WIB
Sumber gambar: Designed by Alfina Rahmatia

Saya pernah merasa tersesat di jalan yang salah ketika mengambil kuliah ekonomi dan perbankan syariah. Bagaimana tidak, kepala saya terus saja bertanya-tanya perihal keberadaan bank Syariah di Indonesia yang menurut saya tidak ada gunanya, alias syariah-syariahan. Ditambah lagi tidak sedikit orang-orang di sekitar saya bertanya-tanya dan membuat jawabannya sendiri, apa bedanya menabung di bank syariah atau di bank konvensional? Sama saja kok.

Hal paling umum yang paling banyak diketahui dan sering menjadi landasan awal dari perbedaan bank syariah dan konvensional adalah riba. Dalam perbankan syariah tidak mengenal konsep riba, atau bunga (interest). Namun, sistem keuangan di Indonesia itu sendiri terpusat pada Bank Indonesia, dengan sistem bunga tentunya. Pun, negara kita yang masih memiliki pembayaran bunga utang hingga November 2020 sebesar Rp 301,0 triliun atau 97% terhadap APBN 2019. Itu bunganya, bukan utangnya. Lantas, untuk apa bank Syariah hadir kalau ujung-ujungnya sistem di negeri ini masih konvensional? Bak menabur garam di lautan.

Filosofi Ekonomi, Bukan Ilmu

Pikiran saya yang dulu itu kemudian berangsung-angsur terbantahkan ketika dua tahun lalu mengikuti pelatihan ekonomi syariah di International Islamic University of Malaysia (IIUM). Ada salah satu materi yang cukup mengubah paradigma berpikir saya perihal bank syariah, yakni islamicisation of knowledge. Muhammad Baqir as-Sadr dalam bukunya, Iqtisaduna, menjelaskan bahwa perbedaan ekonomi Islam dan ekonomi syariah terletak pada filosofi ekonomi, bukan pada ilmunya. Filosofi ekonomi memberikan ruh pemikiran dengan nilai-nilai Islami dan Batasan-batasan syariah, sedangkan ilmu ekonomi berisi alat-alat analisis yang dapat digunakan. Maka, ekonomi Islam tidak hanya sekadar ilmu, tapi lebih dari itu, ia adalah sebuah sistem.

Sama halnya perumpamaan dari perbedaan bank syariah dan konvensional yaitu seperti seseorang hendak memiliki anak; kalau bank syariah lewat jalur akad (pernikahan), sedangkan konvensional tanpa pernikahan. Keduanya sama-sama punya anak, tetapi berbeda jalur. Sama-sama membuka rekening di bank, tetapi berbeda sistem.

Di situlah filosofi ekonomi hadir dalam sistem syariah. Orang awam yang belum mempelajari ekonomi syariah (bahkan yang sedang belajar sekalipun) akan merasa kesulitan dalam memahami ruh yang dimaksud. Sebab ruh datang dari hati, bukan kepala. Ruh ini akan semakin kuat ketika hadir kesadaran bahwa sistem syariah adalah amanah dan bentuk perjuangan Islam di dalamnya. Maka mempelajarinya, memahami produk-produk di bank syariah, dan ikut berpartisipasi dalam bank syariah, adalah sebuah itikad (keteguhan).

Saya tidak menampikkan bahwa sistem keuangan di negara kita dikuasai oleh sistem konvensional, sekalipun negara ini berubah sistem menjadi syariah, itu bukanlah hal mudah, bahkan dapat dikatakan mustahil. Sebab sudah terjerat dalam sistem keuangan dunia pula, di mana tidak hanya ekonomi saja yang berbicara ketika membahas sistem keuangan dunia, tetapi juga politik. Namun dengan lantang dapat saya katakana bahwa kehadiran bank syariah di Indonesia bukan menabur garam di lautan.

Memang, bukan hal mudah memerikan literasi kepada masyarakat terkait filosofi dalam kehadiran perbankan syariah. Tapi masyarakat kita saat itu sudah sangat milenial, serta dikuasi oleh generasi z yang melek internet, menjadi peluang besar bagi sektor ekonomi syariah, khususnya bank syariah, untuk meraup lebih banyak nasabah sambil diiringi dengan pemahaman akan dunia keuangan dan perbankan syariah di dalamnya. Tentu dengan inovasi dan pelayanan yang terus ditingkatkan, dan memberi kenyamanan pada semua kalangan masyarakat.

Semakin memahami dunia ekonomi syariah sebagai ruh, maka akan semakin menggebu-gebu daya juang dan semangat belajar. Jangan sampai sebagai manusia, kita menjadi tong kosong nyaring bunyinya, pandai mengkritik tapi tak pandai membangun dan saling dukung dalam kebaikan. Sungguh menjadi buih di lautan bukanlah cita-cita hidup.

Referensi:

Idris, Muhammad. Money. Februari 26, 2021. https://money.kompas.com/read/2021/02/26/190815326/utang-pemerintah-ri-kini-tembus-rp-6233-triliun (accessed May 24, 2021).

Karim, Adiwarman A. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2012.

Muftisany, Hafidz. Koran. January 15, 2015. https://republika.co.id/berita/o0z74623/menjadi-buih-atau-gelombang (accessed May 24, 2021).

Shadr, Muhammad Baqir Ash. Buku Induk Ekonomi Islam: Iqtisoduna. Translated by Yudi. Jakarta: Zahra, 2008.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image