Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Abdul Muid Badrun

Transformasi Spiritual Perbankan Syariah di Indonesia

Bisnis | Tuesday, 25 May 2021, 16:27 WIB

Belum lama ini JP Morgan, sebuah lembaga riset keuangan terkemuka di dunia merilis hasil risetnya. Pertumbuhan ekonomi global, emerging market, dan kawasan Asia Pasifik direvisi 10 hingga 30 poin lebih rendah secara year to date. Bahkan Bank Dunia (World Bank) mempertahankan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2021 berada pada level 4,4 persen (year on year/yoy) (cnbcindonesia, 6/01/2021).

Dampak Covid (Corona Virus Disease)-19 ini tentunya akan juga dirasakan oleh industri perbankan di Indonesia. JP Morgan juga menjelaskan beberapa risiko yang membayangi industri perbankan yaitu penyaluran kredit, penurunan kualitas aset dan pengetatan margin bunga bersih. Lalu bagaimana dengan “nasib” perbankan syariah yang selama ini secara empiris resisten terhadap krisis? Karena, berbasis bagi hasil dan margin bukan bunga. Lalu, strategi apa yang bisa dilakukan agar masalah covid-19 ini tidak berpengaruh signifikan terhadap industri perbankan syariah secara umum?

Sumber: Republika Online

Mengacu kepada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi virus Corona (Covid-19). Bahwa, dampak langsung yang dialami industri perbankan syariah adalah krisis likuiditas. Hal ini harus diantisipasi sejak awal agar masalah tidak semakin melebar dan menyulitkan.

Dalam pasal 16 Perppu tersebut dinyatakan bahwa Bank Indonesia diberikan kewenangan untuk memberikan pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah.

Pada poin b di pasal 19 odijelaskan bahwa BI diperkenankan untuk memberikan pinjaman likuiditas khusus (PK) kepada bank sistemik yang mengalami kesulitan likuiditas dan tidak memenuhi persyaratan pemberian pinjaman jangka pendek yang dijamin oleh Pemerintah dan diberikan berdasarkan keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).

BI bersama OJK melakukan penilaian mengenai pemenuhan kecukupan agunan dan perkiraan kemampuan bank untuk mengembalikan pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah. (Pasal 17 Ayat 1b). Dari sinilah, penggunaan fasilitas likuiditas tersebut sangat bermanfaat bagi perbankan syariah ketika mengalami krisis likuiditas.

Kalau kita baca data, hanya Bank Syariah Indonesia (BSI) yang masuk kategori bank BUKU (Bank Umum Kegiatan Usaha) III yang modal intinya di atas Rp 5 (lima) triliun atau sebesar Rp. 22,61 triliun (Republika, 7/02/2021). Itu artinya, pelan tapi pasti perbankan syariah mulai mengejar ketertinggalan dengan bank konvensional dari sisi modal inti. Kita patut bersyukur atas kondisi ini.

Sumber: Republika Online

Selain itu pula, kampanye yang menyebut bahwa “bank syariah sama bagusnya, sama lengkapnya dan sama modern-nya” bahkan bisa “lebih” dibandingkan dengan bank konvensional perlu diteruskan. Bahkan kalau perlu dimasyarakatkan dan dimasifkan!. Hal ini bukan saja untuk meningkatkan “brand awareness” (kesadaran merek bank syariah), namun lebih prinsip dari itu bahwa bank syariah saat ini sudah sejajar dengan bank konvensional dari sisi layanan operasional. Bahkan, bank syariah memiliki competivive advantage berupa asset dan liabilitasnya bersifat fleksibel. Karena tidak berbasis pada bunga yang sifatnya fixed. Inilah yang membuat bank syariah tahan terhadap krisis.

Dalam ilmu pemasaran, ada prinsip: “Marketing is the battle of perception”, pemasaran adalah perang persepsi. Itu artinya siapa yang memenangkan persepsi publik dan merebut simpati masyarakat, maka ia akan memenangkan persaingan pasar. Karena itulah, setiap stakeholders industri keuangan syariah harus berhati-hati menjaga nama baik ini. Jangan dirusak dengan “praktik-praktik ribawi” yang akan melemahkan persepsi baik terhadap bank syariah di Indonesia.

Munculnya covid-19 sejak akhir Februari 2020 (www.kemkes.go.id) memberikan beberapa pesan transformatif spiritual bagi industri perbankan syariah. Pesan transformatif itu antara lain:

Sumber: Republika Online

Pertama, tidak ada yang tidak mungkin di muka bumi ini. Itu artinya, industri perbankan syariah bisa menjadi pilihan ideal masyarakat yang selama ini lebih condong ke perbankan konvensional. Apalagi dengan lahirnya BSI tentu akan semakin menambah kepercayaan

masyarakat pada bank syariah. Pilihan ideal ini didukung oleh fakta bahwa menabung di bank syariah sama bagusnya dan amannya. Bahkan, bagi hasilnya (return) cenderung atau relatif lebih tinggi dari bunga. Karena, bank syariah tidak mengalami (tidak mengenal) istilah negative spread. Ini berbeda dengan bank konvensional.

Kedua, dengan munculnya covid-19 ini malah menjadi “blessing in disguised” (berkah tersembunyi). Apa itu? Insan perbankan syariah harus bisa move-on dari yang hanya sekadar melayani (sifatnya transaksional) ke mengajak (sifatnya spiritual) (QS. An-Nahl: 125). Ajakan menyimpan uang di bank syariah selain didorong karena unsur bisnis (bagi hasil), juga afirmasi untuk menyelamatkan umat dari siksa neraka jika sewaktu-waktu meninggal karena Covid-19. Selain itu, menyimpan uang di bank syariah, terutama BPR Syariah memberikan imbal hasil lebih tinggi bagi penyimpan dana (tabungan dan deposito) serta dijamin LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) maksimal Rp. 2 miliar dibanding menyimpan uang di bank konvensional.

Ketiga, harus diakui bahwa transformasi spiritual di industri perbankan syariah harus diawali dari transformasi individual di internal perbankan syariah. Terutama dimulai dari kepemimpinan (BOD) bank syariah. Ini sungguh utama dan sangat penting (impactfull). Mengapa? Karena, bisnis perbankan adalah bisnis kepercayaan (trust). Jika bank syariah tidak mulai dari sini, baik secara akad, kebijakan, layanan dan operasional, maka momentum transformasi spiritual ini hanya sekadar isapan jempol. Atau dalam bahasa lain seperti peribahasa “tong kosong berbunyi nyaring”, keras kampanye ajakannya tapi kosong substansi syariahnya.***

Penulis: Abdul Muid Badrun, Khodim Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar Ponorogo dan Dosen Islamic Banking FEB Universitas Paramadina Jakarta.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image