Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syahrul

Kita Adalah Wajah Bank Syariah

Ekonomi Syariah | Friday, 28 May 2021, 16:19 WIB

Akhir tahun 2020 viral sebuah video pernyataan resmi dari Menteri BUMN, Bapak Erick Tohir, bahwa industry keuangan syariah menjadi perhatian utama pemerintah. Salah satu langkah besar yang dilakukan adalah dengan melakukan merger 3 Bank Syariah plat merah, Bank Syariah Mandiri, Bank Rakyat Indonesia Syariah, dan Bank Negara Indonesia Syariah. Hal tersebut tentu saja menjadi kabar gembira bagi masyarakat yang saat ini mulai melek tentang keuangan syariah. Namun apa yang terjadi dengan masyarakat awam? Kayaknya mereka akan anteng-anteng aja, lebih memikirkan urusan mereka untuk mencari kebutuhan pokok mereka. Apalagi di masyarakat sering muncul istilah Bank Syariah sama saja dengan Bank Konvensional, yang membedakan hanya istilah-istilahnya saja. Sebenarnya apa yang terjadi, sehingga banyak masyarakat yang memiliki penilaian seperti itu?

Sebelum melanjutkan mungkin kita bisa mundur sejenak untuk menelusur sejarah bagaimana Bank Syariah pertama kali dibentuk, kenapa Bank Syariah ini perlu muncul di Indonesia?

Pada tahun 1988, BI mengeluarkan Paket Kebijaksanaan yang dikenal dengan pakto 88, dimana perizinan untuk pendirian Bank dipermudah, hal tersebut bertujuan untuk mendorong pertumbuhan industri perBankan dan menopang perekonomian. Hal itu rupanya menjadi perhatian besar bagi Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI melakukan beberapa pertemuan pada tahun 1990 tentang bunga dan perBankan. MUI menilai bahwa sistem ekonomi syariah akan lebih membawa manfaat kepada masyarakat, hal tersebut berkaca pada praktek keuangan Islam yang dijalankan di Bandung melalui Bait At-Tamwil Salman ITB dan di Jakarta melalui Koperasi Ridho Gusti pada tahun 1980. Meskipun berskala kecil keduanya memunculkan geliat yang baik dalam menjalankan ekonomi koperasi syariah bagi para anggotanya. Dari pertemuan tersebut MUI membentuk Tim PerBankan MUI, tujuan utamanya adalah Pendirian Bank dengan sistem keuangan Syariah. Namun dalam perjalannya tidaklah mudah, MUI menemukan beberapa hambatan terutama penolakan demi penolakan dari pemerintah, khususnya dari Presiden Soeharto sebagai pemimpin negara saat itu. Akhirnya MUI dengan bantuan ICMI dan para pengusaha muslim berhasil meyakinkan pemerintah dan membuahkan hasil, pada 1 November 1991 Bank Muamalat Indonesia (BMI) berdiri. Bank pertama yang menjalankan sistem keuangan syariah di Indonesia ini mulai beroperasi pada 1 Mei 1992 atau bertepatan dengan 27 Syawwal 1412 Hijriah.

Masyarakat masih sangat awam dengan BMI, apalagi dengan maksud Bank Syariah itu sendiri. Apalagi dengan istilah-istilah seperti bagi hasil, mudharabah, musyarakah, murabahah, dan banyak lagi. Saya sendiri sempat mengira bahwa tabungan bagi hasil itu pengertiannya adalah saldo simpanan kita di BMI akan dibagikan kepada nasabah lain tiap bulannya dengan perhitungan tertentu. Ketika saat ini memang sistem keuangan syariah khususnya perbankan syariah belum banyak diketahui, daya tariknya saat itu adalah bahwa BMI merupakan Bank yang mewakili umat muslim, Bank yang tidak memakai bunga, dan merupakan Bank bentukan MUI.

Hal inilah yang menjadi permasalahan Bank Syariah pada masa itu. Namun semua mulai menyadari begitu amannya perBankan sistem syariah ketika krisis 1998 melanda Indonesia dan sebagian besar Asia. Banyak Bank-Bank konvensional yang mulai bertumbangan karena ketidakmampuan Bank membayar bunga kepada nasabah penyimpan dana yang melambung tinggi, begitu pula dengan kualitas nasabah pinjaman yang mulai berstatus macet satu persatu, yang membuat neraca Bank kacau balau.

BMI menjadi salah satu Bank yang terdampak paling minim diantara Bank yang lain. Karena menerapkan sistem bagi hasil yang terbukti ampuh menangkat arus krisis moneter saat itu. Pemerintah pun mulai sadar dengan begitu amannya sistem syariah menyelamatkan uang nasabah-nasabahnya. Hingga pada saat itu barulah disahkan UU No. 10 Tahun 1998 tentang PerBankan, dimana kali ini setidaknya sistem Bank Syariah mulai dimasukan.

Pada tahun 2008 landasan hukum sistem keuangan syariah mulai dilengkapi dan berbagai macam produk Bank Syariah mulai ramai. Kemudian dengan telah diberlakukannya Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008, maka pengembangan industri perbankan syariah nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong pertumbuhannya secara lebih cepat lagi. Peran Bank Syariah mulai diperhatikan sebagai penopang perekonomian negara. Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS), Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) mulai bermunculan, begitu juga Koperasi-Koperasi Syariah. Periode 2008-2010 tersebut menjadi salah satu periode mulai dikenalnya lembaga keuangan syariah.

Namun pengalaman saya di lapangan permasalahan awal dari, apa itu Bank Syariah? Masih belum teratasi secara baik, masih banyak masyarakat yang belum paham tentang sistem keuangan syariah, hal tersebut diperparah dengan kurangnya pengetahuan secara mendalam tentang konsep keuangan syariah dari orang-orang yang mewakili lembaga keuangan syariah tersebut, entah itu terkait pengetahuannya atau cara menjelaskan kepada masyarakatnya. Apalagi sekarang Bank Syariah punya kecenderungan merekrut karyawan namun tanpa pembekalan yang cukup tentang konsep mendalam tentang keuangan syariah tersebut. Hal inilah yang menyebabkan munculnya penilaian bahwa Bank Syariah dan Bank Konvensional itu sama saja.

Realita sekarang adalah ketika ditanya bedanya Bank Syariah dan konvensional, orang-orang yang harusnya menjadi wajah Bank Syariah di masyarakat sering kesulitan untuk menjawab. Walaupun bisa menjawab tetapi kurang dimengerti. Apalagi jika dihadapkan dengan komunitas-komunitas kajian khusus seperti komunitas anti riba yang seharusnya menjadi peluang pasar dari Bank Syariah itu sendiri. Kebanyakan menyerah karena tidak bisa menunjukkan Bank Syariah sebagai solusi umat yang memang seharusnya menjadi fungsi Bank Syariah tersebut.

Dengan terbentuknya BSI ini saya lihat menjadi sebuah bukti pemerintah yang mulai serius untuk memajukan sistem keuangan syariah di Indonesia. Hal tersebut tentu saja menjadi kabar gembira bagai masyarakat yang mulai melek akan sistem keuangan syariah sekaligus menjadi harapan baru untuk terciptanya sistem keuangan syariah yang lebih sempurna.

Yang perlu diingat adalah, bahwa setiap elemen Bank Syariah, mulai dari staf kebersihan, staf keamanan, front liner, marketing, hingga pimpinan-pimpinan tinggi merupakan wajah dan pribadi dari lembaganya. Bila wajahnya sudah enak dilihat dan dipandang, secara sendirinya masyarakat akan mulai ingin mengenal dan menjalin hubungan kemitraan. Semoga Bank Syariah di Indonesia dapat terus maju dan terus mendukung perekonomian Indonesia menjadi lebih baik.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image