Selasa 01 Jun 2021 09:25 WIB

Anak-Anak di Gaza Bertahan dengan Kondisi Mental Buruk

Hidup di Gaza berarti harus menghidupkan kembali trauma berkali-kali.

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Karta Raharja Ucu
Anak-anak berkumpul di samping kawah tempat rumah Ramez al-Masri dihancurkan oleh serangan udara sebelum gencatan senjata tercapai setelah perang 11 hari antara penguasa Hamas Gaza dan Israel, Minggu, 23 Mei 2021, di Beit Hanoun. , Jalur Gaza utara.
Foto: AP / John Minchillo
Anak-anak berkumpul di samping kawah tempat rumah Ramez al-Masri dihancurkan oleh serangan udara sebelum gencatan senjata tercapai setelah perang 11 hari antara penguasa Hamas Gaza dan Israel, Minggu, 23 Mei 2021, di Beit Hanoun. , Jalur Gaza utara.

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Serangan mematikan Israel di Gaza telah membuat luka dalam terutama bagi anak-anak. Para ibu dan pekerja kesehatan mental khawatir efek psikologis dari kekerasan akan bertahan lama di anak-anak Jalur Gaza.

Seorang ibu berusia 28 tahun, Hala Shehada dari Gaza Utara mengungkapkan serangan tersebut membawanya pada kenangan tragis tahun 2014. Saat itu, suaminya yang merupakan seorang jurnalis, Khaled Hamad terbunuh di lingkungan Al-Shuja’iya.

“Hidup di Gaza berarti harus menghidupkan kembali trauma berkali-kali. Perang adalah hal terburuk di dunia,” kata Shehada seperti dinukil dari aljazeera.

Dia mengaku sulit untuk mengatasi kondisi mental putrinya yang terus memburuk. Saat mendengar bom, anaknya Toleen menangis histeris tanpa henti. Toleen tak lepas dari mimpi buruk. Dia bangun tengah malam sambil berteriak. Shehada sudah melakukan berbagai cara untuk menghiburnya tapi itu tidak menghasilkan apa pun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement