Selasa 01 Jun 2021 09:52 WIB

Anak-Anak di Gaza Bertahan dengan Kondisi Mental Buruk

Efek psikologis dari kekerasan dikhawatirkakan bertahan lama pada anak di Jalur Gaza.

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Esthi Maharani
Anak-anak berkumpul di samping kawah tempat rumah Ramez al-Masri dihancurkan oleh serangan udara sebelum gencatan senjata tercapai setelah perang 11 hari antara penguasa Hamas Gaza dan Israel, Minggu, 23 Mei 2021, di Beit Hanoun. , Jalur Gaza utara.
Foto: AP / John Minchillo
Anak-anak berkumpul di samping kawah tempat rumah Ramez al-Masri dihancurkan oleh serangan udara sebelum gencatan senjata tercapai setelah perang 11 hari antara penguasa Hamas Gaza dan Israel, Minggu, 23 Mei 2021, di Beit Hanoun. , Jalur Gaza utara.

IHRAM.CO.ID, GAZA – Serangan mematikan Israel di Gaza telah membuat luka dalam terutama bagi anak-anak. Para ibu dan pekerja kesehatan mental khawatir efek psikologis dari kekerasan akan bertahan lama pada anak-anak Jalur Gaza.

Seorang ibu berusia 28 tahun, Hala Shehada dari Gaza Utara mengungkapkan serangan tersebut membawanya pada kenangan tragis tahun 2014 lalu. Saat itu, suaminya yang merupakan seorang jurnalis, Khaled Hamad terbunuh di lingkungan Al-Shuja’iya.

“Hidup di Gaza berarti harus menghidupkan kembali trauma berkali-kali. Perang adalah hal terburuk di dunia,” kata Shehada.

Dia mengaku sulit untuk mengatasi kondisi mental putrinya yang terus memburuk. Saat mendengar bom, anaknya Toleen menangis histeris tanpa henti. Toleen tak lepas dari mimpi buruk. Dia bangun tengah malam sambil berteriak. Shehada sudah melakukan berbagai cara untuk menghiburnya tapi itu tidak menghasilkan apa pun.

 

Seperti banyak ibu di Gaza, Shehada dan putrinya membutuhkan rehabilitasi psikologis. Sayangnya, layanan dukungan kesehatan mental di Gaza tidak banyak sehingga banyak anak yang menderita trauma sepanjang hidupnya karena perang.

Reem Jarjour (30 tahun) yang merupakan pekerja sosial mengatakan dia telah berjuang melawan trauma. “Anak-anak sangat terpengaruh dari kesehatan mental orang tuanya. Jadi, saya dan suami berusaha keras untuk menyembunyikan trauma kami di depan mereka,” ujar dia.

Jarjour mencoba mengaplikasi semua hal yang ia pelajari sebagai pekerja sosial. Misal, membuat anak-anak sibuk dengan beragam kegiatan. Namun, cara tersebut kata dia tidak berhasil. Selama serangan berlangsung, Jarjour dan suaminya memutuskan untuk tidur bersama anak-anaknya. Mereka terus mencoba menghibur anak-anaknya.

“Saya tidak pernah meninggalkan mereka sendirian. Tetapi saya tahu dengan melihat ke mata mereka bahwa mereka takut. Anak-anak tahu semua yang terjadi di sekitar mereka,” tuturnya.

Psikoterapis di Pusat Trauma Palestina Inggris, Ghada Redwan mengatakan beberapa keluarga di Gaza menghubunginya selama serangan berlangsung. Mereka minta dukungan kesehatan mental untuk anak-anaknya. Redwan menawarkan pelatihan berbasis fokus yang banyak digunakan oleh para ahli kesehatan mental untuk menyembuhkan trauma dan gangguan stres pascatrauma.

“Ada sejumlah kasus yang menyebabkan kepanikan dan ketakutan yang hebat. Ada juga anak-anak yang gejala psikologisnya muncul dengan emosi dan muntah yang kuat,” kata Redwan.

Dia menyarankan agar para ibu untuk mencoba tetap tenang di depan anak-anak mereka, terutama selama pemboman. Menghadapi trauma setelah serangan Israel bukanlah hal baru di Gaza dengan kapasitas bantuan terbatas sementara kebutuhan akan perawatan sangat besar.

Menurut Dewan Pengungsi Norwegia (NRC), 12 dari 66 anak yang terbunuh oleh serangan udara Israel adalah peserta program yang bertujuan membantu anak-anak Gaza mengatasi trauma dari perang sebelumnya.

Anak-anak yang selamat dari serangan itu kemungkinan besar akan menghidupkan kembali pengalaman pemboman setiap malam. NRC mengatakan dalam sebuah pernyataan terbaru, anak-anak di Gaza rata-rata mengalami lima mimpi buruk dalam sepekan.

Menurut Manajer Wilayah Gaza NRC, Hozayfa Yazji, NRC telah bekerja dengan 118 sekolah dan memberikan dukungan untuk 75.000 anak sejak meluncurkan layanan terapi trauma di Gaza pada tahun 2012. Namun, sekatang pihaknya menghadapi kesenjangan besar dalam layanan dukungan psikologis setelah agresi terbaru. Jumlah anak yang membutuhkan layanan psikoyerapi meningkat tiga kali lipat.

Kondisi kemanusiaan yang parah memperburuk kondisi kesehatan mental anak-anak di Gaza. Pengepungan selama 14 tahun yang dilakukan Israel menyebabkan meningkatnya tingkat kemiskinan mencapai 50 persen dari populasi, tingkat pengangguran 55 persen, dan sistem perawatan kesehatan yang bobrok. Itu semua membuat penderitaan anak-anak semakin buruk. Sementara itu, anak-anak di bawah usia 18 tahun merupakan 45 persen dari populasi di Jalur Gaza.

“Ini membuat intervensi program pertolongan pertama psikologis menjadi kebutuhan yang mendesak. Setidaknya 90 persen penduduk Gaza membutuhkan dukungan dan perawatan kesehatan mental,” ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement