Kamis 03 Jun 2021 02:21 WIB

Inflasi Mei Naik, Ekonom: Daya Beli Tetap Belum Pulih

Faktor Ramadhan dan Hari Raya menjadi salah satu kontributor kenaikan inflasi Mei.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Inflasi (ilustrasi)
Inflasi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Laju inflasi nasional sepanjang Mei 2021 tercatat sebesar 0,32 persen, naik dari bulan sebelumnya yang mencapai 0,13 persen. Meskipun mengalami kenaikan, daya beli masyarakat dinilai belum pulih akibat tekanan dari pandemi Covid-19.

Ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, mengatakan, faktor musiman Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri pada April-Mei lalu menjadi salah satu kontributor dari kenaikan inflasi dibulan Mei.

Baca Juga

"Setiap memasuki lebaran memang konsumsi cenderung tinggi. Tapi pemulihan penuh saya kira belum mengingat inflasi pada waktu momen lebaran sebelum pandemi masih lebih tinggi," kata Bhima kepada Republika.co.id, Rabu (2/6).

Ia mencatat, pada bulan Juni 2019 lalu tercatat inflasi sebesar 0,55 persen. Kemudian indikator lain yang bisa dijadikan acuan yakni inflasi inti yang mencerminkan sisi permintaan. Inflasi inti menurut Bhima tetap belum pulih seperti sebelum pandemi.

Pada Juni 2019 di mana sebelum terjadi pandemi dan bertepata dengan Ramadhan dan Idul Fitri, bisa mencapai 0,38 persen. Sementara, pada Mei tahun ini hanya 0,24 persen.  

"Pemulihan daya beli masyarakat masih perlu didukung dengan percepatan vaksinasi dan perbaikan mobilitas masyarakat untuk berbelanja," katanya.

Lebih lanjut, Bhima memaparkan berdasarkan data Mobilitas Google, pergerakan masyarakat secara nasional ke pusat belanja ritel masih minus 5 persen dari baseline.

Karena itu, menurutnya stimulus untuk menunjang daya beli kelas menengah bawah juga masih diperlukan karena pemulihan konsumsi tidak merata. "Kelas atas lebih siap berbelanja dengan keluarkan simpanan di bank, sementara kelas menengah bawah pendapatan masih tertekan," ujarnya.

Bhima pun menilai, pemerintah perlu kembali memebrikan stimulus seperti subsidi gaji seperti yang diberikan tahun lalu. Namun, dapat diberikan spesifik ke sektor-sektor yang mengalami kontraksi terdalam seperti pariwisata yang di dalamnya terdapat perhotelan, restoran, dan transportasi.

Hal itu bisa dilakukan karena terbatasnya anggaran pemerintah serta besarnya jumlah pekerja yang perlu mendapat bantuan sehingga klasterisasi bisa membuat pemerintah lebih fokus.

Sementara itu, Deputi Kementerian Koordinator Perekonomian, Iskandar Simorangkir, menilai, kenaikan inflasi bulan lalu menunjukkan kuatnya proses pemulihan ekonomi.

"Kuatnya pemulihan ini justru ditunjukan dengan inflasi inti sebesar 0,24 persen dengan andil terhadap inflasi total sebesar 0,16 persen," ujarnya.

Menurut Iskandar, kenakan inflasi didukung dengan angka Purchasing Managers Index (PMI) IHS Markit pada Mei 2021 yang naik lagi menjadi 55,3 poin dari bulan April 2021 yang sebesar 54,6 poin.

Selain itu, penjualan mobil juga meningkat 227 persen pada april 2021 menunjukkan kuatnya pemulihan ekonomi. Iskandar menilai, dengan perkembangan tersebut, maka pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2021 akan mencapai diatas 7 persen (year on year/yoy).

Pertumbuhan itu tentu juga bisa tercapai karena faktor basis data yang rendah tahun lalu di mana mengalami kontraksi 5,32 persen akibat pandemi virus corona.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement