Rabu 09 Jun 2021 10:03 WIB

Belarusia Keluarkan Aturan Baru, Hina Pejabat Dipenjara

Demonstran yang melawan polisi juga akan dikenai hukuman berat.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Teguh Firmansyah
Presiden Belarusia Alexander Lukashenko.
Foto: EPA
Presiden Belarusia Alexander Lukashenko.

REPUBLIKA.CO.ID, MINSK -- Presiden Belarusia Alexander Lukashenko pada Selasa (8/6) menandatangani kebijakan hukuman penjara bagi orang-orang yang ikut mengambil bagian dalam aksi protes atau menghina pejabat negara. Ini adalah tindakan keras pemerintah yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Dalam amandemen beleid pidana, Lukashenko untuk pertama kalinya menjatuhkan hukuman penjara empat tahun bagi orang-orang yang terbukti bersalah menyebarkan informasi palsu yang mendiskreditkan negara. Presiden juga memberlakukan hukuman lebih berat bagi mereka yang melawan polisi dan menggunakan simbol protes.

Baca Juga

Di bawah undang-undang baru, siapa pun yang ikut ambil bagian dalam protes, atau menghina pejabat pemerintah menghadapi hukuman tiga tahun penjara. Padahal sebelumnya mereka hanya dikenai penahanan atau denda.

"Ini tentu saja memperburuk situasi di bidang hak-hak sipil dan politik," kata Valentin Stefanovich dari kelompok hak asasi manusia Viasna-96.  

"Undang-undang ini sebenarnya tidak lagi menentang protes, tetapi menentang perbedaan pendapat," kata Stefanovich menambahkan.

Lukashenko yang berkuasa sejak 1994 melancarkan tindakan keras terhadap aksi protes, setelah memenangkan pemilihan pada Agustus. Lukashenko diduga melakukan kecurangan dalam pemilihan tersebut.

Lukashenko sebelumnya telah menandatangani amandemen undang-undang yang mengatur media. Hal ini memungkinkan pemerintah menutup media tanpa memerlukan perintah pengadilan seperti sebelumnya.

Delegasi gabungan dari Uni Eropa, Amerika Serikat, Inggris, Swiss dan Jepang bertemu dengan Menteri Luar Negeri Belarusia Vladimir Makei di Minsk pada Selasa. Dalam sebuah pernyataan, delegasi mendesak Belarus untuk menghentikan perlakuan tidak manusiawi terhadap pengunjuk rasa damai dan tahanan politik.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement