Jumat 11 Jun 2021 10:45 WIB

OJK: Tingkat Inklusi Keuangan di Pedesaan 68,49 Persen

Aspek perlindungan konsumen menjadi kata kunci penting dalam industri jasa keuangan.

Rep: Novita Intan/ Red: Nidia Zuraya
Logo  Otoritas Jasa Keuangan (OJK). (illustration)
Foto: dok. Republika
Logo Otoritas Jasa Keuangan (OJK). (illustration)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat posisi tingkat literasi dan inklusi keuangan wilayah perkotaan sebesar 41,41 persen dan 83,60 persen. Sedangkan di wilayah pedesaan sebesar 34,53 persen dan 68,49 persen. 

Deputi Komisioner Hubungan Masyarakat dan Logistik OJK Anto Prabowo mengatakan otoritas berupaya memberikan perlindungan, khususnya perlindungan kepada konsumen sektor jasa keuangan. “Penguatan aspek perlindungan konsumen menjadi kata kunci penting seiring perkembangan industri jasa keuangan yang dinamis dan dari sisi lain juga ada aspek literasi keuangan yang harus ditingkatkan,” ujarnya saat acara Focus Group Discussion (FGD) ‘Perkembangan Pengawasan Market Conduct OJK Dalam Rangka Penguatan Perlindungan Konsumen’ seperti dikutip Jumat (11/6).

Baca Juga

Anto mengakui pasar keuangan cenderung semakin kompleks dan rentan terhadap asimetri informasi dan masalah keagenan, sehingga kontrak dan penegakan hukum oleh pelaku pasar cenderung tidak cukup untuk memastikan pasar berfungsi dengan baik, diperlukan intervensi regulasi.

Di Indonesia, perkembangan hukum perlindungan konsumen sektor jasa keuangan telah diatur pada beberapa undang-undang dan peraturan turunannya. Perlindungan konsumen secara umum telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999. 

Adapun perlindungan konsumen yang secara spesifik sektor jasa keuangan dan masuk dalam ranahnya OJK diatur dalam UU Nomor 21 tahun 2011 tentang OJK dan POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.  

Peraturan-peraturan tersebut yang menjadi landasan bagi OJK untuk memainkan perannya melindungi konsumen. Dalam upaya memperkuat pengawasan market conduct sektor jasa keuangan, Anto menjelaskan terbentuknya struktur regulasi, kerangka organisasi, proses bisnis dan batasan regulasi serta tindakan pengawasan market conduct pada OJK bersumber dari prinsip dan kerangka kerja yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang No 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Anto juga menjelaskan pengembangan pengawasan market conduct telah mengacu pada legislasi tersebut akan cukup terbatas sesuai perimeter regulatory boundaries yang diatur dalam Undang-Undang No 21 tahun 2011. Adapun penyesuaian regulatory boundaries tersebut membutuhkan pertimbangan cost and benefit analysis yang menyeimbangkan kepentingan konsumen dengan kepentingan perusahaan yang diawasi.

“Tanpa penyesuaian regulatory boundaries, efektivitas pengawasan market conduct ke depannya bergantung pada kecukupan harmonisasi dengan ruang lingkup dan kewenangan pengawasan prudensial sesuai UU OJK,” jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement