Sabtu 12 Jun 2021 13:52 WIB

Industri Perminyakan Irak Kembali Pulih

Industri minyak Irak berkontribusi atas 90 persen dari pendapatan negara.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Teguh Firmansyah
Kilang minyak di Irak
Foto: VOA
Kilang minyak di Irak

REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Menteri Perminyakan Irak, Ihsan Abdul-Jabbar Ismail, menyatakan sektor minyak negara itu sudah kembali setelah jatuh karena pandemi, Jumat (11/6). Proyek-proyek investasi dinilai sudah ada di depan mata, meski ada kemungkinan birokrasi akan menghalangi.

Irak saat ini memperdagangkan minyak pada leval 68 dolar AS per barel, mendekati sekitar 76 dolar AS yang dibutuhkan negara untuk beroperasi tanpa bergantung pada bank sentral untuk memenuhi pengeluaran pemerintah. Industri minyak Irak berkontribusi atas 90 persen dari pendapatan negara.

Baca Juga

Ismail mengambil alih pekerjaan yang tidak menyenangkan untuk mengawasi industri paling vital Irak pada puncak jatuhnya harga minyak. Sejak itu, dia harus menyeimbangkan permintaan domestik untuk lebih banyak pendapatan guna mendanai kas negara dan tekanan dari Organisasi Negara‑Negara Pengekspor Minyak Bumi (OPEC) untuk menjaga ekspor tetap rendah guna menstabilkan pasar minyak global.

Dengan pulihnya sektor ini, Ismail mengatakan, sekarang dapat fokus pada prioritas lain. Daftar teratas adalah mengembangkan sektor gas negara itu sebagai syarat utama bagi Irak agar memenuhi ketentuan untuk keringanan sanksi Amerika Serikat (AS). Untuk itu, Irak ingin mengembangkan ladang gas yang telah lama diabaikan dan menangkap gas yang dibakar dari lokasi minyak.

Ismail berharap kontrak akan ditandatangani dalam beberapa bulan mendatang guna mengembangkan proyek-proyek utama. Upaya ini  dapat meningkatkan kapasitas gas Irak sebesar 3 miliar standar kubik pada 2025.

Kementerian Perminyakan hampir menandatangani kerja sama dengan Sinopec China untuk mengembangkan ladang gas Mansuriya di provinsi Diyala. Lapangan tersebut bisa menambah 300 juta standar kaki kubik gas untuk produksi dalam negeri. Dia berharap untuk menyelesaikan kesepakatan pada pertengahan Juli. Irak saat ini mengimpor 2 miliar standar kaki kubik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Ismail menyatakan, saat ini Irak juga sedang dalam pembicaraan dengan Total Prancis guna mengembangkan proyek mega investasi multi-miliar dolar. Proyek ini berada di  Irak selatan, termasuk pusat gas Ratawi.

Pembicaraan awal juga sedang berlangsung untuk mengembangkan ladang gas Akkas di provinsi Anbar, dengan Schlumberger AS dan raksasa minyak Arab Saudi Aramco. Meskipun negosiasi dengan perusahaan internasional semakin cepat, Ismail mengaku masih ada keraguan yang mengakar dalam internal kementerian. Investor menyalahkan birokrasi glasial dan keragu-raguan dalam jajaran kementerian untuk menggagalkan proyek.

Ismail mengatakan politik Irak yang kejam dan ketakutan korupsi sering menggagalkan proyek investasi penting selama masa jabatannya dan para pendahulunya. Kondisi ini jadi sumber frustrasi jangka panjang bagi perusahaan internasional yang bekerja di Irak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement