Sabtu 12 Jun 2021 22:55 WIB

Ini Pemikiran Utama Ibnu Khaldun Soal Pajak

Ibnu Khaldun meletakkan konsep pajak yang patut ditiru untuk menggerakkan ekonomi

Pajak dalam Pandangan Ibnu Khaldun: Belajar filsafat dan sosiologi bersama Ibnu Khaldun.
Foto: wikipedia
Pajak dalam Pandangan Ibnu Khaldun: Belajar filsafat dan sosiologi bersama Ibnu Khaldun.

REPUBLIKA.CO.ID, -- Oleh Agung Sasongko, Elba Damhuri

Wacana pajak atas barang-barang kebutuhan pokok sedang ramai diperbincangkan di Indonesia. Pemerintah sedang menyiapkan RUU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang menyinggung pajak barang-barang pokok dan pertanian.

Dalam kondisi ekonomi yang sedang turun karena pandemi covid-19 dan resesi ini, rencana pengenaan pajak barang seperti tertera dalam RUU KUP jelas mendapat kritik dan sorotan tajam. 

Sejumlah intelektual Muslim memberikan pandangan penting soal pajak, yang beberapa teorinya dipakai banyak pemimpin dunia hingga saat ini. Pemikiran intelektual Muslim ini juga telah menginspirasi dan mempengaruhi banyak ilmuwan di Barat termasuk ekonom-ekonom ternama dunia.

Sebetulnya, bagaimana konsep pajak yang ideal? Tentu, sulit menjawabnya. Namun, melihat konsep pajak Ibnu Khaldun yang disampaikan dalam buku spektakulernya, Muqadimmah, tentu memberikan nuansa lain tentang arti penting pajak.

Konsep dasar pajak menurut Ibnu Khaldun, pengenaan tarif pajak dibuat rendah agar ekonomi bisa bergerak bagus dan kehidupan sosial politik negara menjadi stabil serta kuat.

Pajak yang tinggi --apalagi melampaui kemampuan warga-- sangat berbahaya bagi tingkat produktivitas warga. Ujungnya, pajak yang tinggi dan luas akan berdampak buruk terhadap kegiatan ekonomi.

Ibnu Khaldun menilai pada masa ekonomi bagus, pendapatan negara dari pajak bertambah tinggi dengan tarif pajak rendah. Sebaliknya, di masa ekonomi sulit, pendapatan negara dari pajak tetap rendah meski tarif pajak dibuat tinggi.

Pajak yang ringan bagus bagi kehidupan sebuah negara. Ibnu Khaldun percaya ini karena dia hidup dan menyaksikan runtuhnya Daulah Abbasiyah karena korupsi, ketamakan, asyik hidup mewah, dan keserakahan oknum-oknum pejabat yang menerapkan pajak tinggi. Pajak yang memberatkan rakyat.

Tentu, kata Ibnu Khaldun, pemerintah harus memungut pajak. Pemerintah, jelas dia, adalah sumber pendorong ekonomi, penggerak utama pasar.

Ibn Khaldun berpendapat perekonomian akan tumbuh ketika kebijakan pemerintah mendukung kegiatan ekonomi. Karena itu, harus diingat, ketika pemerintah harus memungut pajak adalah dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Syarat pajak, Ibnu Khaldun menyebut pajak hanya dipungut ketika pemerintah tidak menghambat kegiatan produksi dan perdagangan. Pajak yang diterapkan haruslah jenis yang disahkan dan sesuai syariat Islam.

Pajak ditujukan untuk menjaga stabilitas (keamanan) warga, kesejahteraan rakyat, keadilan dan pemerataan. 

Ibnu Khaldun menegaskan pajak bukan dipakai untuk kegiatan-kegiatan tidak produktif, hidup pejabat yang bermewah-mewahan, dan dipenuhi berbagai fasilitas yang mahal.

Kata Ibnu Khaldun, ketika perekonomian negara semakin membaik, biasanya pemerintah akan kehilangan kesederhanaan dan birokrasi menjadi lebih kaku. Godaan pola hidup mewah akan mendorong penguasa menaikkan pajak agar pendapatan negara bertambah. 

Hal ini yang Ibnu Khaldun sepanjang hidupnya dalam mengamati pola hidup oknum-oknum pejabat yang hidup bermewah-mewahan dari uang pajak dan uang negara.

Pungutan pajak yang berlebihan bisa terjadi ketika tuntutan belanja birokrasi dan militer membengkak. Semakin besar belanja birokrasi dan militer, semakin besar pula pajak harus dipungut dari masyarakat yang justru akan menjadi beban bagi perekonomian.

Dia menilai kebijakan menaikkan surplus permintaan dengan cara memperbesar belanja birokrasi dan tentara merupakan langkah keliru. 

Bagi Ibn Khaldun, pemerintah yang baik mempunyai birokrasi dan tentara dalam jumlah minimum yang cukup untuk menjamin terciptanya ke teraturan dan keamanan. Dengan demikian, pungutan pajak untuk membiayai pemerintahan pun bisa minimal. 

Produk pertanian pun mendapat sorotan Ibnu Khaldun. Dia tidak sepenuhnya setuju pajak produk pertanian.

Bea pada produk pertanian justru akan menjadi disinsentif bagi petani untuk bekerja lebih produktif. Akibat penurunan produksi pertanian, pendapatan negara dari pajak pun ber kurang sementara ancaman kelangkaan produk pertanian mengancam.

Pajak harus mendorong maraknya kegiatan pebisnis, perusahaan, dan organisasi-organisasi terkait. Beban tinggi pajak terhadap pendapatan individu dan perusahaan akan berdampak buruk bagi pendapatan nasional yang sekarang dihitung dalam produk domestik bruto (PDB). 

Kini, teori pajak dan ekonomi Ibn Khaldun mulai dipahami negara-negara berkembang meskipun secara pelan-pelan. Sedangkan di negara-negara maju, teori Ibnu Khaldun diaplikasikan dengan mengurangi belanja militer untuk dialihkan kepada investasi di bidang pendidikan dan teknologi guna meningkatkan kinerja ekonomi dan daya saing dalam perdagangan internasional.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement