Selasa 15 Jun 2021 22:10 WIB

Mengapa Kekhalifahan Islam Semakin Kuat dan Luas Era Awal?

Kekhalifahan Islam semakin meluas karena prinsip-prinsip Islam yang agung

Kekhalifahan Islam semakin meluas karena prinsip-prinsip Islam yang agung. Ilustrasi Damaskus, Suriah, pusat Daulah Umayyah (ilustrasi).
Foto: ucalgary.ca
Kekhalifahan Islam semakin meluas karena prinsip-prinsip Islam yang agung. Ilustrasi Damaskus, Suriah, pusat Daulah Umayyah (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, - Perlu dicatat, meskipun kemaharajaan Islam begitu meluas, tapi kaum Muslimin sesuai dengan prinsip Piagam Madinah tak pernah memaksa penduduk negara-negara tersebut agar memeluk Islam.

Karena, sesuai prinsip Islam yang ditetapkan Alquran, tidak ada paksaan dalam beragama. Setelah pengaruh Islam menyebar ke berbagai wilayah, terutama pada masa Khalifah Umar, kekhalifahan Islam pun semakin tegak. 

Baca Juga

Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kemaharajaan Islam itu kemudian bisa bertahan selama berabad-abad? Mengapa berbagai pergolakan seperti semasa Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah (Bani Umaiyah) dan kemudian antara Bani Umaiyah dengan Bani Abbasiyah, tidak sanggup meruntuhkan pengaruh Islam sebagaimana terjadi pada kemaharajaan Iskandar yang Agung dan Mongol?

Menanggapi hal ini, menurut Haekal dalam buku Pemerintahan Islam, sulit untuk menjelaskan sebab-sebabnya secara rinci. ''Namun secara garis besar, saya dapat menunjukkan satu sebab yang sangat menentukan. Yakni, sesungguhnya orang-orang Arab terdorong berperang bukan pertama-tama untuk mendapatkan materi, tapi ada yang jauh lebih penting dari hal itu. Yaitu, keyakinan bahwa mereka mengemban satu misi atau risalah yang harus disampaikan pada seluruh dunia ini demi kebaikan,'' jelas sejarahwan kondang Mesir itu.

Menurut Haekal, keyakinan umat Islam yang demikian telah menegakkan kemaharajaan Islam sehingga sampai bertahan berabad-abad. Tapi, lanjutnya, ketika keyakinan itu memudar, keretakan demi keretakan mulai merasuki sekujur sendi-sendi kemasyarakat Islam dan nasibnya pun sama seperti yang dialami kemaharajaan Byzantium dan Parsia. Bagi umat Islam, demikian Haekal, misi yang telah dipelopori Rasulullah itu mereka anggap sebagai amanat untuk disampaikan kepada setiap manusia.

Misi itu tidak lain adalah persaudaraan dan persamaan. Mereka berpendangan, pada hakekatnya Tuhan seluruh manusia itu satu, Tuhan yang Esa. Di hadapan Tuhan yang Esa ini, semua manusia adalah sama. Tidak ada perbedaan antara orang Arab dan non-Arab kecuali ketakwaannya. Di samping persaudaraan dan persamaan ini, mereka adalah orang-orang bebas merdeka.

Pada masa Rasulullah, prinsip-prinsip luhur itu tersebar luas di semenanjung Arab. Setelah menetap di negara-negara yang mereka tundukkan, kaum Muslimin mulai menerapkan prinsip-prinsip mulia tadi pada penduduk setempat. Salah satu yang menjadi dasar kebijakan pemerintahan mereka adalah toleransi beragama. Mereka tidak memaksakan seorang pun di antara penduduk negara yang ditaklukkan agar memeluk Islam.

Mereka juga memberikan berbagai kebebasan yang sudah berlaku pada saat itu: kebebasan berpikir, kebebasan mengeluarkan pendapat, serta sejumlah kebebasan lainnya. Di samping itu mereka juga menghormati segala bentuk ibadah dan akidah. Sedangkan keadilan mereka jadikan sebagai dasar pemerintahan mereka.

Dalam menerapkan keadilan ini, tidak ada beda antara Muslim dan non-Muslim. Dengan sikap demikian, tidak heran banyak orang tertarik kepada Islam. Bukan hanya itu, mereka yang non-Muslim ini juga benar-benar menikmati berbagai kebebasan. Hal ini tidak pernah mereka alami sebelumnya, baik di Romawi maupun di negara Arab sendiri. Itulah yang mendorong mereka berbondong-bondong masuk ke dalam lingkungan agama baru, Islam.

Mereka ingin ikut menikmati prinsip-prinsip kebebasan, persaudaraan, dan persamaan yang telah ditetapkan Islam. Prinsip toleransi dan kebebasan inilah yang juga diberlakukan Khalifah Umar bin Khattab. Dikisahkan, ketika Khalifah Umar merebut kota suci Jerusalem pada 638 M atau 6 tahun setelah Nabi wafat, ia pun mendirikan masjid di kota suci itu, yang sekarang dikenal dengan nama Baitul Muqdis. 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement