Jumat 25 Jun 2021 16:08 WIB

Vaksin Anak Belum Teruji, Prokes Tetap Senjata Utama

Di daerah dengan transmisi tinggi sudah tepat untuk menunda kegiatan PTM.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yusuf Assidiq
Seorang petugas menyiapkan vaksin Covid-19.
Foto: AP Photo/Aaron Favila
Seorang petugas menyiapkan vaksin Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Ketua PP Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Aman Bhakti Pulungan menyebut, kasus covid ke anak naik 11-12 persen. Bahkan, selama pandemi, jumlah kematian balita naik 50 persen atau ada 1.000 kematian ke anak setiap pekan.

Epidemiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, dr Citra Indriani mengatakan, sejak awal anak-anak berisiko terinfeksi sars cov-2 dan DIY sendiri kasus pertama anak-anak. Tapi, pengetahuan tentang infeksi virus menunjukkan gejala yang terjadi kepada anak sedang ke berat.

"Pengetahuan kita belum sepenuhnya lengkap untuk virus corona ini, sehingga masih berkembang. Apalagi, virus mengalami mutasi dan menyebabkan perubahan karakternya," kata Citra, Jumat (25/6).

Ia mengakui, vaksin yang ada saat ini belum direkomendasikan untuk anak karena semua vaksin ketika akan digunakan harus melalui uji terlebih dulu. Efikasinya apakah memberikan manfaat atau tidak meskipun pada saat kegawatdaruratan.

 

"Pada saat ini memang kita masih dan harus menunggu hasil uji klinis kepada kelompok anak sebelum bisa kita berikan ke anak-anak," ujarnya.

 

Meski sudah ada vaksin yang direkomendasi WHO Strategic Advisory Group of Expert (SAGE) untuk anak berusia 12 tahun lebih yaitu Pfizer atau Biontech. Tapi, selama ini, anak-anak memang belum menjadi prioritas secara global.

Dengan perkembangan situasi dan bukti ilmiah yang dihimpun, bisa jadi akan ada rekomendasi baru dan akan mengubah kebijakan. Karenanya, ia mengingatkan, saat ini senjata utama mencegah penyebaran covid merupakan protokol kesehatan.

"Makan bersama orang selain di luar rumah sangat berisiko karena sama-sama buka masker dan pasti ngobrol, kalau kita lihat masih banyak yang melakukan. Anak bisa dilindungi bila kita dewasa, orang tua, pengasuh jalankan prokes ketat," kata dia.

Atas lonjakan kasus saat ini, orang-orang dewasa diharapkan bisa patuh prokes karena jadi sumber klaster. Selain itu, ia khawatir bila pembelajaran tatap muka dimulai di sekolah akan memperparah angka kejadian kasus covid kepada anak.

"Saya kira di daerah dengan transmisi tinggi sudah tepat untuk menunda kegiatan sekolah tatap muka," jelasnya.

Selain belum adanya vaksin yang efektif bagi anak untuk mencegah penularan virus covid, Citra menegaskan, penerapan prokes kepada anak-anak dan prokes ketat dari orang tua sebenarnya diharapkan sebagai senjata terakhir melindungi anak-anak.

"Proses test, tracing, treatment (3T) tidak untuk melindungi anak-anak, tapi prokes anak dan prokes orang tua yang melindungi," ujar Citra.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement