Rabu 30 Jun 2021 20:22 WIB

RUU PKS Upaya Lindungi Perempuan dari Kekerasan Seksual  

Perlu komitmen dan upaya untuk segera mengegolkan RUU PKS

Perlu komitmen dan upaya untuk segera mengegolkan RUU PKS. Aksi menentang pelecehan seksual. (ilustrasi)
Foto: Antara/Reno Esnir
Perlu komitmen dan upaya untuk segera mengegolkan RUU PKS. Aksi menentang pelecehan seksual. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Kehadiran Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sejatinya untuk mengatasi kendala aturan yang belum menjangkau kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tersebut.    

"Kekerasan seksual saat ini banyak sekali bentuknya, baik secara fisik maupun non fisik. Sedangkan aturan yang ada belum menjangkau sejumlah bentuk kekerasan seksual tersebut," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertajuk Alarm Krisis Kekerasan pada Perempuan Indonesia yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, di Jakarta, Rabu (30/6).    

Baca Juga

Penuntasan pembahasan RUU PKS menjadi undang-undang, jelas Rerie, sapaan akrab Lestari, harus didukung dalam bentuk political will dari semua pihak. 

Bila tidak ada usaha-usaha yang luar biasa dalam mendorong RUU PKS menjadi undang-undang, Rerie menilai, upaya mengejar ketertinggalan di bidang hukum untuk menjawab permasalahan kekerasan seksual terhadap perempuan tahun ini akan terganggu. 

Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, mendorong agar para pemangku kepentingan aktif dalam merealisasikan UU Penghapusan Kekerasan Seksual, untuk meningkatkan peran negara dalam menangani sejumlah kasus hukum terkait kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. 

Rerie menilai, kita harus bersatu dalam satu gerakan bersama untuk memutus rantai kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Tanah Air. 

Ketua Komnas Perempuan Periode 2015-2019, Azriana R. Manalu, berpendapat kejahatan kekerasan seksual berkembang pesat, karena belum adanya mekanisme hukum yang memadai untuk mengatasi kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan.  

Menurut Azriana, sejumlah kekerasan seksual juga berusaha diatasi lewat instrumen hukum di tingkat daerah, seperti peraturan daerah (Perda). 

Namun, ujarnya, seringkali perangkat hukum di tingkat daerah malah menciptakan salah kaprah dan tidak menciptakan efek jera terhadap para pelaku kekerasan seksual. 

Anggota Badan Legislasi DPR RI, Taufik Basari, mengungkapkan saat ini pihaknya menunggu badan kajian untuk memperkaya draf RUU PKS. 

Pihaknya, tegas Taufik, sedang mengagendakan sejumlah pertemuan untuk mendapat masukan dari berbagai pihak, seperti ulama perempuan Indonesia dan sejumlah organisasi masyarakat lainnya. 

Di masa persidangan mendatang, ujarnya, Badan Legislasi DPR RI akan masuk pada substansi pembahasan RUU PKS. 

Selain itu, Taufik berpendapat, harus ada langkah-langkah yang masif di berbagai lini untuk mengatasi kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, sebagai misal di bidang pendidikan terkait perspektif gender, advokasi, penegakan hukum, dan legislasi 

Ketua Komisi Kejaksaan RI, Barita Simanjuntak, berpendapat kondisi kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak saat ini memasuki situasi yang genting. 

Bila tidak ada langkah yang signifikan untuk mewujudkan UU Penghapusan Kekerasan Seksual, jelas Barita, negeri ini akan  dipermalukan dengan sejumlah kasus kekerasan seksual yang terus terjadi. 

Diperlukan gerakan yang masif, ujarnya, agar wakil rakyat segera memberi keputusan terkait RUU PKS menjadi undang-undang. 

Ketua Bidang Perempuan dan Anak DPP Partai NasDem, Amelia Anggraini, berpendapat, kekerasan terhadap perempuan merupakan fenomena gunung es di negeri ini. 

Amelia yakin masih banyak kasus kekerasan terhadap perempuan saat ini. Diperlukan sosialisasi yang masif,  untuk menyadarkan semua pihak, terkait maraknya kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Bila perlu, jelas Amelia, penguatan cara pandang berperspektif gender dimasukkan dalam kurikulum pendidikan nasional. 

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, menilai untuk mencegah tindak kekerasan terhadap perempuan yang harus dibenahi bukan hanya aturan hukum, melainkan juga kultur. Karena, tegas Asfinawati, kekerasan terhadap perempuan lahir dari cara pandang bias gender masyarakat terhadap perempuan.   

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement