Kamis 01 Jul 2021 14:16 WIB

Nasib Minim Prestasi Negara dan Pemain Sepakbola Muslim?

Mengapa Negara Muslim Tak Bisa Juara Piala Dunia Sepakbola?

Mohammad Salah melakukan selebrasi cujus Syukur kala mencetak gol.
Foto: google.com
Mohammad Salah melakukan selebrasi cujus Syukur kala mencetak gol.

IHRAM.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Muslim dan sepakbola tampaknya susah dipisahkan. Bahkan, bila di Brasil dan Argentina, sepakbola sudah mirip agama yang bisa melupakan kekesalan, kemiskinan, tragedi di negara-negara berpenduduk Muslim juga begitu. Impian menjadi pemain bola terlihat di mana-mana.

Di Arab Saudi misalnya, warga di sana sontak memolototi layar televisi di mana saja saat ada pertandingan sepakbola. Bahkan, kerapkali lalu lintas sepi ketika Timnas Arab Saudi bertarung pada pertandingan penting misalnya dalam putaran akhir kompetisi piala dunia. Suasa hiruk pikuk bermunculan. Warga berkerumun di depan televisi tak peduli itu di super market, warung makan, bahkan bengkel.

Perasaan yang samaitu pernah saya lihat langsung di Damaskus, Suriah. Warga juga membicarakan sepakbola dengan bersemangat kala ada pertandingan penting. Bahkan di kawasan wisata perbukitan di sekitar Damaskus anak-anak tanpa sungkan membawa bola dan asyik menendangnya ke mana-mana. Suasana hiruk pikuk.

 

Di Lebanon juga begitu. Kala itu, yakni pertandingan putaran final piala dunia 2004, di flat-flat apartemen warga di Beirut terlihat berbagai bendera negara peserta piala dunia berkibaran. Bendera kuning ala Brasil yang paling banyak terlihat. Setelah itu terselip bendera negara Turki yang didominasi warna merah.

Di setiap tayangan pertandingan teriaan riuh rendah warga selalu terdengar. Puncaknya adalah menjelang semifinal piala dunia 2004 yang kala itu berlangsung di Korea Selatan. Mendadak hirup pikuk Beirut yang hingar bingar sontak menyurut. Semua berkerumun di depan televisi. Dan uniknya, ketika Turki ditekuk Brasil kala itu banyak wajah warga Beirut yang usai nonton terlihat kuyu. Mereka tampak sedih sekali.

Namun, suasana 'nglengat' warga Beirut berubah beberapa hari kemudian kala kemudian terjadi perebutan tempat ketiga dalam piala dunia 2004. Kala itu Turki akan bertarung melawan Korea Selatan.

Dan kali inipun warga juga antusias. Mereka terlihat lebih menjagokan Turki. Yang menjagokan Korea hanya minoritas. Apalagi kemudian terbukti Turki memenangkan pertandingan melalui gol supercepat dari bintang Turki yang kini tinggal di Amerika Serikat, Hakan Sukur.

Maka, begitu tahu dan usai wasit meniupkan peluit tanda berakhirnya pertandaingan, warga Beirut mendadak mengadakan pawai keliling kota. Arak-arakan anak muda dengan mengendari mobil terjadi. Bendera Turki berkibaran di jalan-jalan. Klakson mobil bising menyalak di jalanan.

Saya yang kala itu tengah berada di restoran MC Donald dipinggir pantai Beirut sendirian terheran-heran dengan keriuhan yang muncul mendadak. Apalagi setelah ke luar dari restoran dan berdiri di pinggir jalan sapaan untuk ikut meneriakan yel-yel atas kemenangan Turki terdengar bersahutan. 

Pada sisi lain, antusias warga Beirut untuk bermain bola jelas terlihat. Di mana-mana, tak peduli di tempat parkir yang berbeton atau lapangan berdebu di atas lahan gurun pasir, anak-anak muda getol memainkan sepakbola. Stadion Beirut pun megah. Berdiri tepat di pinggiran kota tak jaug dari jalan tol. Dan hasilnya pun terlihat, minimal hingga kini tak pernah timnas Indonesia bisa mengalihkan Lebanon meski negara itu hanya mempunyai wilayah yang berpenduduk mungil di tepian pantai Laut Merah.

Bagi negara berpenduduk Muslim, belum ada negara lain yang mampu menyalip prestasi Turki dalam kompetisi piala dunia sepakbola. Di belakang itu memang ada negara berpenduduk Muslim yang lain seperti Aljazair yang bisa masuk ke delapan besar dengan menggusur Jerman pada tahun 1978. Negara lain, seperti Arab Saudi hingga Iran hanya bermain pada sesion awal piala dunia.

Saat ini memang pemain Muslim terlihat dominan di timnas negara-negara Eropa, seperti terlihat dalam Eroro 2020. Sebagai pribadi mereka sangat berkualitas. Ini misalnya terlihat dalam timns Prancis, Belgia, dan lainnya. Nama-mana Muslim bertebaran.

Tapi ingat mereka hanya sebagai pribadi. Mereka rata-rata anak-anak Muslim dari keluarga imigran yang tinggal di negara itu. Selain itu ada yang berasal dari kawasan negara Eropa yang mempunyai polisi Muslim signifikan seperti dari negara-negara di kawasan Balkan yang merupakan pecahan Yugoslavia.

Lalu apa yang salah? Apakah ini terkait dogma spalsepakbola di zaman dahulu yang sempat ada mahzab Islam mengharamkan karena identik dengan menendang kepala Hasan dan Husein? Jawabnya: entahlah. Yang pasti fatwa itu sudah tak berlaku, bahkan di Iran sekalipun. Ingat pemain negari para Mullah itu bahkan ada yang punya prestasi mencorong seperti Ali Dei. Catatan rekornya yang mampu mencetak 108 gol ketika membela timnas, baru pada piala Euro 2020 kali ini terpecahkan oleh si-super star portugal, Christiano Ronaldo.

Foto: Hai Generasi Micin, Ini Lho Ali Daei yang Rekor Golnya Dikejar  Cristiano Ronaldo - Dunia Bola.com

Keterangan foto: Ali Dei.

Lalu apakah mungkin mereka tak mencorong karena tak bisa bermain di liga Primair Eropa? Kali ini jawabnya bisa saja terjadi. Sebab, sebagian besar pemain dari negara Muslim hanya bermain di liga domestiknya. Akibatnya, mereka hanya jagoan kandang dan level permainannya hanya tingkat negara saja.

Jadi nama-nama besar seperti Mohammad Salah dari Mesir yang menjadi bintang liga Inggris jelas pengecualian. Mereka mampu bermain di liga Eropa meski dari negara bukan Eropa atau berasal dari warga yang mempunyai sejarah sebagai kaum imigran. Mo Salah pergi dengan bekal kualitas, tekad, dan kerja keras, meski pada awalnya juga hanya bermain di liga pinggiran sepakbola Eropa.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement