Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Syafi'ie el-Bantanie

Lembaga 'Pemulung' Zakat

Eduaksi | Friday, 02 Jul 2021, 06:48 WIB

Muhammad Syafi’ie el-Bantanie

(Direktur Lembaga Pengembangan Insani Dompet Dhuafa)

Judul di atas barangkali sedikit sarkasme. Tak mengapalah. Setelah membaca tulisan ini, insya Allah pembaca paham apa pesan yang ingin disampaikan melalui judul di atas.

Menelusuri sejarah gerakan zakat di Indonesia memang mengherankan. Bayangkan saja di negeri yang mayoritas muslim ini, syariat zakat sempat sama sekali tidak populer. Umat Islam Indonesia lebih akrab dengan ibadah berdimensi individual, seperti shalat, puasa, dan haji.

Sikap pemerintah ketika itu pun tidak berbeda. Tidak peduli. Nyaris tidak ada kemauan apalagi kebijakan yang mendorong berkembangnya perzakatan di Indonesia. Praktis zakat sama sekali tidak mendapat tempat strategis dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.

Padahal, filosofi syariat zakat dalam Al-Qur’an sungguh luar biasa. Zakat merupakan instrumen utama pengentasan kemiskinan. Zakat menjadikan harta tidak berputar-putar di kalangan orang-orang kaya saja, melainkan terdistribusi kepada kaum dhuafa.

Bukankah kemiskinan masalah akut bangsa ini? Negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini tidak mampu menyejahterakan rakyatnya. Ibarat peribahasa tikus mati di lumpung padi. Lantas mengapa tidak banyak yang peduli? Mengapa hanya sedikit yang mau memikirkan dan mencurahkan energi untuk mengurus orang-orang miskin?

Mengurus kemiskinan memang tugas negara, sebagaimana amanah konstitusi, “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.” (Pasal 34 ayat 1 UUD NRI Tahun 1945).

Namun demikian, ketika negara belum sepenuhnya hadir, sepatutnya ini juga menjadi tugas semua anak bangsa. Jangan sampai kemiskinan terus terwariskan dari generasi ke generasi, seperti digambarkan Clifford Geertz dalam Involusi Pertanian. Seorang petani miskin yang hanya memiliki tanah sepetak dikerat-kerat lagi untuk diwariskan kepada anak-anaknya yang miskin.

Mengapa kemiskinan bisa terwariskan? Ketika rakyat dipandang sebagai konsumen, bukan pemangku kepentingan, di situlah produksi kemiskinan terus terjadi dan kemudian pewarisan kemiskinan. Dalam perspektif rakyat sebagai konsumen, maka rakyat dibiarkan mengurus semua keperluannya sendiri untuk bisa hidup.

Berbeda dengan menjadikan rakyat sebagai pemangku kepentingan. Maka, kebijakan negara pada berbagai aspek kehidupan; politik, ekonomi, dan sosial tidak boleh ada yang mencederai apalagi merugikan kepentingan dan rasa keadilan rakyat.

Di tengah rintihan sekarat orang-orang miskin itulah, Dompet Dhuafa lahir pada 2 Juli 1993. Tekadnya membaja, mengurusi orang-orang miskin dan mengentaskan kemiskinan. Heroik. Maka, tak heran Eri Sudewo, salah seorang pendiri Dompet Dhuafa, sering meledakkan spirit dengan berujar, “Dompet Dhuafa itu ‘negara’ dalam negara.” Maksudnya, Dompet Dhuafa mengambil posisi membantu menjalankan tugas negara mengentaskan kemiskinan dan memeratakan kesejahteraan.

Jalan yang ditempuh Dompet Dhuafa juga beyond. Menjadi lembaga zakat. Bagaimana tidak, Dompet Dhuafa mampu melihat potensi yang belum terlihat. Dalam kacamata Dompet Dhuafa, zakat sangat potensial menjadi instrumen pengentasan kemiskinan.

Karena itu, Dompet Dhuafa melakukan rekayasa sosial bagaimana menjadikan zakat dekat dan akrab dalam kehidupan umat Islam. Zakat yang tidak populer disulap menjadi topik pembicaraan hangat melalui tulisan-tulisan bernas Eri Sudewo dalam kolom “Gugah” yang terbit di Harian Umum Republika.

Pengelolaan dana zakat yang dikesankan seadanya, dinaikkan citranya dengan menyajikan laporan keuangan teraudit kantor akuntan publik. Pesannya jelas, satu sen pun uang zakat mesti terlaporkan dengan amanah dan profesional.

Nama-nama donatur pertama Dompet Dhuafa seringkali diulang-ulang dalam berbagai forum seperti kaset rusak. Lagi-lagi pesan heroisme yang ingin diinternalisasikan dan disemaikan. Itulah data yang menjadi saksi bahwa masih banyak orang baik di negeri ini.

Negeri ini tidak pernah kehabisan orang baik dan dermawan. Hanya masalahnya mereka tidak terkonsolidasikan. Dalam konteks ini, Dompet Dhuafa hadir menjalin ukhuwah untuk bersama menyantun dhuafa. Memendarkan kesadaran masyarakat bahwa harmoni sosial terjaga karena adanya pengorbanan.

Dalam konteks ini, Eri Sudewo lagi-lagi menghentak logika berpikir kita, “Kekuatan bangsa ini terletak pada simpul terlemahnya,” petuah Eri. Kok bisa?

Untuk bisa memahami paradigma di atas, kita mesti menyelami makna hadis Rasulullah, “Carikan aku orang-orang miskin. Karena, kalian diberi rezeki dan ditolong Allah dengan keberadaan orang-orang lemah di antara kalian.” (HR. Abu Dawud, An-Nasai, At-Tirmidzi).

Pada riwayat lain Rasulullah menerangkan, “Sesungguhnya Allah menolong umat ini dengan orang-orang lemahnya, doa-doa, dan keikhlasan mereka.” (HR. An-Nasai)

Kita menjadi paham, sejatinya kehadiran orang-orang lemah (dhuafa) adalah anugerah bagi kita. Karena, dengan kehadiran merekalah, Allah akan menolong dan memberi rezeki bagi kita.

Dalam konteks inilah, Dompet Dhuafa memaknai kehadiran kaum dhuafa. Kitalah yang sebetulnya membutuhkan mereka. Kita membutuhkan doa-doa tulus mereka agar negeri ini ditolong dan dirahmati.

Kadar 2.5% zakat mungkin dianggap receh, namun jika dikonsolidasikan dan dikelola dengan amanah, bisa berdampak besar bagi kemaslahatan kaum dhuafa. Dompet Dhuafa memilih menjadi pelopor jalan perjuangan ini, meski pada masa-masa awal gerakan zakat barangkali sempat dijuluki lembaga pemulung zakat.

Pada 2 Juli tahun ini, Dompet Dhuafa tepat berusia 28 tahun. Sebuah perjalanan yang pastinya sarat makna. Karena itu, saya mengucapkan selamat milad ke-28 bagi Dompet Dhuafa. Tetaplah istiqamah pada jati diri organisasi dan nilai-nilai dasar perjuangan.

Bogor, 2 Juli 2021

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image