Senin 05 Jul 2021 14:18 WIB

Junta Militer Larang Eksekutif Asing Tinggalkan Myanmar

Eksekutif senior harus meminta izin khusus jika meninggalkan Myanmar

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nur Aini
Panglima Junta Militer Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten (24/4/2021). Kedatangan Jenderal Min Aung Hlaing untuk menghadiri KTT ASEAN 2021di Sekretariat ASEAN, Jakarta.
Foto: Antara/Biro Pers-Rusan/hma
Panglima Junta Militer Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten (24/4/2021). Kedatangan Jenderal Min Aung Hlaing untuk menghadiri KTT ASEAN 2021di Sekretariat ASEAN, Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, SINGAPURA -- Eksekutif asing senior dari perusahaan telekomunikasi besar di Myanmar tidak boleh meninggalkan negara itu tanpa izin. Perintah itu dikeluarkan oleh junta militer Myanmar.

Perintah rahasia yang diterbitkan oleh Departemen Pos dan Telekomunikasi (PTD) Myanmar pada pertengahan Juni mengatakan, para eksekutif senior, baik orang asing maupun warga negara Myanmar, harus meminta izin khusus jika meninggalkan negara itu. Seminggu kemudian, perusahaan telekomunikasi mendapatkan surat kedua yang memerintahkan agar mereka menerapkan teknologi pencegat. 

Baca Juga

Junta meminta teknologi itu dipasang agar pihak berwenang dapat memata-matai panggilan, pesan, dan lalu lintas web serta melakukan pelacakan. Junta menghadapi aksi protes harian, dan semakin banyak pemberontak mengaktifkan teknologi spyware. 

Seorang sumber yang berbicara dengan syarat anonim mengatakan, larangan itu dimaksudkan untuk menekan perusahaan telekomunikasi agar menyelesaikan pengaktifan teknologi spyware. Tiga sumber telekomunikasi lainnya, yang juga berbicara dengan syarat anonim, mengatakan, pihak berwenang telah meningkatkan tekanan pada perusahaan untuk menerapkan intersepsi, tetapi menolak untuk menjelaskan lebih lanjut.  

Dua sumber mengatakan, perusahaan telah diperingatkan berulang kali oleh pejabat junta agar tidak berbicara secara terbuka kepada media tentang penyadapan tersebut. Perusahaan telekomunikasi Telenor menolak berkomentar. Sementara perusahaan telekomunikasi lainnya seperti Ooredoo, MPT milik negara dan Mytel juga menolak memberikan tanggapan.

Beberapa bulan sebelum kudeta, penyedia layanan telekomunikasi dan internet diperintahkan untuk memasang spyware pencegat. Pemasangan itu bertujuan agar tentara dapat menyadap komunikasi warga. Empat sumber mengatakan Telenor ASA Norwegia dan QPSC Ooredoo Qatar belum sepenuhnya mematuhi perintah tersebut.

Seorang juru bicara militer tidak menjawab permintaan komentar. Junta ingin meloloskan RUU keamanan siber yang amengharuskan penyedia telekomunikasi untuk memberikan data saat diminta, dan menghapus atau memblokir konten apa pun yang dianggap mengganggu persatuan, stabilisasi, dan perdamaian. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement