Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Syafi'ie el-Bantanie

Tabungan Wakaf Emak

Bisnis | Monday, 05 Jul 2021, 15:17 WIB

Muhammad Syafi’ie el-Bantanie

(Direktur Lembaga Pengembangan Insani Dompet Dhuafa)

“Mak, buat apa sih Emak menabung untuk berwakaf? Hidup kita ‘kan pas-pasan. Buat biaya sekolah aku dan adik saja, Emak harus bekerja keras,” gerutuku, setiap kali Emak memasukkan uang ke kotak kayu bertuliskan “tabungan wakaf” dengan menyisihkan hasil jualannya.

Emak menabung bukan selaiaknya orang menabung. Emak pernah bilang, tabungan ini nggak bisa diambil dan dipakai. Aku jadi bengong. Nggak paham apa maksud Emak. Menabung, tapi tidak bisa diambil dan dipakai. Emak bilang, namanya tabungan wakaf. Istilah wakaf saja aku baru dengar. Nah, ini tabungan wakaf.

Tekad Emak bulat sekali menabung untuk berwakaf. Tidak bisa digugat. Emak sampai meminta pengertian kami agar jatah jajan sekolah mau dikurangi demi bisa menabung untuk wakaf. Padahal, jajan sekolah aku dan adik sudah sangat kecil. Tapi, itulah Emak, tekadnya baja, lebih kokoh daripada batu karang.

Mungkin ini hikmah dari meninggalnya Abah saat aku dan adik masih berusia 7 dan 5 tahun. Sejak saat itu, Emak berjuang menjadi tulang punggung keluarga. Membiayai hidup dan sekolah kami. Emak tumbuh menjadi perempuan tangguh. Tidak pernah mengeluh. Kata Emak, Allah Mahabaik. Tidak pantas kita mengeluh.

***

Emak mulai menabung untuk berwakaf usai membaca sebuah artikel di portal online Islam melalui gawai. Judul artikelnya, Menggagas Tabungan Wakaf. Entah apakah penulisnya berwudhu terlebih dahulu sebelum menulis artikel itu, yang jelas Emak sangat terinspirasi dengan artikel itu.

Kalian jangan tanya gawai Emak. Itu gawai android butut sekadar untuk komunikasi menerima orderan catering pelanggan melalui whatsapp. Selain berjualan di kantin sekolah, Emak juga membuka catering bagi pelanggan yang ada acara sunatan, tahlilan, aqiqahan, dan sejenisnya.

Ketika itu, sepulang berjualan, Emak dengan antusias bercerita akan mulai menabung untuk berwakaf. Namanya tabungan wakaf. Wakaf itu sedekah jariyah. Pahalanya akan terus mengalir meski Emak sudah meninggal nanti. Kata Emak dengan wajah berbinar.

Besoknya Emak benar-benar melaksanakan niatnya. Emak mulai menabung untuk berwakaf. Emak sengaja pesan kotak kayu persegi empat cukup besar, mirip keropak masjid. Ada lubang di tengahnya untuk memasukkan uang. Tak lupa di luarnya ditempeli kertas bertuliskan “Tabungan Wakaf Emak.”

Sejak hari itu Emak menabung untuk berwakaf hingga hari ini.

***

Sudah tiga tahun Emak menabung untuk berwakaf. Setiap hari Emak menabung. Tidak pernah absen meski kecil. Selama itu, Emak teguh dengan niatnya. Tidak pernah membuka dan memakai tabungannya. Meski saat aku akan melanjutkan sekolah ke jenjang SMP. Emak memilih memasarkan catering lebih keras lagi. Tabungan wakaf tidak boleh diganggu gugat. Titik.

Namun, hari itu ada yang berbeda.

“Emak, katanya tabungan wakaf nggak boleh diambil? Kok, Emak buka kotak tabungannya?” tanyaku demi melihat Emak membuka kotak tabungan yang digembok.

Aku membelalakan mata demi melihat uang yang begitu banyak bagi ukuranku. Aku belum pernah melihat uang sebanyak itu. Emak masih belum menjawab pertanyaanku. Emak sibuk menghitung tabungan wakafnya. Setahuku, rata-rata Emak menabung antara Rp 10.000 - 20.000 setiap hari. Namun, lebih sering Emak menabung untuk berwakaf sebesar Rp 20.000.

“Berapa jumlahnya, Mak?” Aku bertanya lagi usai Emak selesai menghitung.

“Alhamdulillah, sembilan belas juta empat ratus ribu rupiah, Mad,” jawab Emak.

Aku tercekat untuk bicara. Aku tidak menduga banyak sekali tabungan wakaf Emak. Aku hanya berdecak dalam hati.

“Emak belum jawab kenapa tabungan wakafnya dibuka? Katanya Emak mau menabung sampai lima tahun, baru dibuka dan diwakafkan?” Aku mengejar jawaban.

“Panggil adikmu ke sini sekalian. Emak mau cerita,” pinta Emak.

Aku jadi semakin penasaran. Aku memanggil Alif yang sedang membaca buku di kamar.

“Ahmad dan Alif, anak Emak yang saleh, dengarkan Emak ya,” Emak memulai cerita. Wajahnya tulus. Tangan Emak menggenggam tangan kami berdua. Tangannya kasar untuk ukuran perempuan. Tapi, itulah saksi perjuangan Emak untuk pendidikan anak-anaknya.

Kalian jangan tanya apakah Emak pernah membeli pelembab untuk tangannya. Memikirkannya pun, Emak tidak pernah. Emak tidak pernah memikirkan dirinya. Yang dipikirkan hanya pendidikan anak-anaknya dan tabungan wakaf.

“Tadi siang saat berjualan di kantin sekolah, Emak ditelpon oleh adik Emak yang di kampung. Katanya, anaknya sakit keras. Sedang di rawat di rumah sakit. Butuh biaya pengobatan yang besar.”

“Emak mau membantunya? Emang berapa biaya pengobatannya?” Aku memotong. Aku menduga Emak akan berkorban untuk adiknya.

“Ahmad, jangan memotong cerita Emak, itu tidak baik ya,” Emak mengingatkanku.

Aku segera diam. Aku sudah menduga arah pembicaraan Emak. Aku tidak sabar.

“Kalian ‘kan tahu, bibi Nina itu saudara Emak satu-satunya. Suaminya sudah lama sakit-sakitan, sehingga sudah lama tidak bekerja. Kasihan bibi Nina. Kita bersyukur diberikan kesehatan. Emak, Ahmad, dan Alif semuanya sehat. Ini nikmat yang besar dari Allah. Makanya, harus disyukuri. Nah, salah satu bentuk syukurnya, kita mesti membantu bibi Nina yang sedang kesusahan,” tutur Emak.

Persis seperti perkiraanku. Emak mau membantu bibi Nina. “Namun, apakah harus membantu dengan semua tabungan Emak?” Gumamku dalam hati. Namun, kali ini aku tidak berani bertanya. Aku memilih menunggu penjelasan lanjutan Emak. Emak selalu mendidik kami tentang adab.

“Anaknya bibi Nina harus dioperasi. Katanya ada kelainan jantung. Biayanya delapan belas juta rupiah.”

“Delapan belas juta ?” Refleks aku mengulang angka itu, kaget.

“Emak mau membantu sebesar itu?” Kali ini aku tidak bisa menahan pertanyaanku. Sudah aku tahan, namun jebol juga.

“Ahmad, hakikatnya ini bukan uang kita. Emak hanya dititipi. Ini rezeki dari Allah. Emak minta izin kepada kalian berdua untuk membantu bibi Nina ya,” kata-kata Emak lugas. Tanpa beban.

Hatiku gerimis. Meski sebetulnya aku belum rela Emak berkorban sebesar itu. Tabungan itu hasil jerih payah Emak berjualan. Dengan sabar ditabung setiap hari. Hidup sangat sederhana. Bahkan, mendidik anak-anaknya agar bisa hidup prihatin dan sederhana. Demi tabungan wakaf. Kini, tabungan wakaf itu dibuka untuk membantu anak bibi Nina.

Namun, sekuatnya aku tidak memprotes keputusan Emak. Aku paham ini kebaikan meski hati ini masih terus bertanya apakah harus Emak yang berkorban? Mengapa bukan oranglain yang jauh lebih mampu? Mengapa juga BPJS tidak mengcover-nya?

“Bibi Nina tidak punya BPJS karena tidak mampu mencicil iuran bulanannya,” Ajaib, Emak seperti bisa membaca pikiranku. Lebih tepatnya, Emak berusaha menjelaskan kemungkinan-kemungkinan pertanyaanku sebelum aku menanyakannya.

“Lantas, bagaimana dengan rencana wakaf Emak? Bukannya Emak niatkan tabungan ini untuk berwakaf?” Aku memilih bertanya tentang niat Emak berwakaf.

“Emak akan menabung lagi untuk bisa berwakaf,” jawab Emak singkat dan lugas.

Gerimis di hatiku semakin deras. Aku tidak sanggup lagi berkata-kata. Perempuan di hadapanku ini bukan manusia bumi. Emak adalah manusia langit yang sedang mampir di bumi. Jiwanya bersih dan bercahaya.

Aku tidak kuat lagi untuk tidak memeluk Emak. Erat sekali. Buliran air mata menetes dari sudut kelopak mataku.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image