Kamis 08 Jul 2021 17:00 WIB

Empat Tingkatan Tauhid Menurut Hujjatul Islam

Makna tauhid berada dalam empat tingkatan

Rep: Muhyiddin/ Red: Esthi Maharani
Tauhid (ilustrasi)
Foto: Wordpress.com
Tauhid (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Imam Al-Ghazali adalah seorang ulama, ahli pikir, ahli filsafat Islam, dan seorang sufi terkemuka yang banyak memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan manusia. Ulama yang mendapat gelar Hujjatul Islam ini mempunyai padangan sufistik teosofis tentang tauhid.

Dalam kitabnya yang berjudul Ihya’ Ulumuddin, dia pun membagi makna tauhid itu ke dalam empat tingkatan. Keempat tingkatan tauhid ini juga telah dijelaskan Prof KH Said Aqil Siroj dalam buku terbarunya yang berjudul “Allah dan Alam Semesta”.

Kiai Said menjelaskan, tingkatan pertama tauhid itu adalah bahwa seseorang mengucapkan dengan lidahnya lafaz “La Ilaha Illallah”, sementara hatinya lalai akan maknanya atau malah mengingkarinya. Tingkatan tauhid ini seperti tauhidnya orang-orang munafik

Tingkatan kedua adalah bahwa seseorang dengan hatinya mengakui makna yang terkandung dalam kalimat tauhid itu, sebagaimana yang diakui dan dibenarkan oleh kebanyakan umat Islam. Menurut Kiai Said, tauhid semacam ini adalah keyakinan kaum awam.

Tingkatan ketiga adalah bahwa seseorang memandang dan menyaksikan (dalam makna kalimat itu) dengan hatinya akan keesaan Allah dengan jalan kasyaf (penyingkapan) melalui perantaraan cahaya al-Haq.

Menurut Kiai Said, tauhid seperti ini adalah maqam orang-orang muqarrabin (orang-orang yang dekat kepada Allah). Dengan cara ini, menurut Kiai Said, mereka melihat banyak hal, tapi sebenarnya yang mereka lihat dalam kejamakan itu adalah sesuatu yang terlahir dari Yang Esa dan juga Maha Kuasa.

Sedangkan tingkatan keempat dari tauhid itu adalah bahwasanya tiada yang mereka lihat dalam wujud ini selain Wujud Yang Esa. Menurut Kiai Said, Tauhid seperti ini adalah kontemplasi dan visi (musyahadah) orang-orang shiddiq (orang-orang yang percaya penuh dan tulus). Kalangan sufi menyebutnya “fana dalam tauhid”.

Dalam kondisi ini, menurut Kiai Said, tiada sesuatu yang mereka lihat kecuali Yang Esa. Bahkan diri mereka sendiri pun tidak dapat mereka lihat. Kalau mereka tidak melihat diri mereka sendiri, maka itu karena saking tenggelamnya dirinya dalam tauhid ini, sehingga mereka fana dari diri mereka sendiri dan lebur ke dalam lautan tauhid.

“Artinya, demi tauhid, mereka fana dari melihat dirinya dan dari segenap wujud makhluk,” jelas Kiai Said.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement