Selasa 20 Jul 2021 17:58 WIB

Muhammadiyah dan Jepang dalam Lintasan Sejarah

Hubungan Muhammadiyah dengan Jepang jauh lebih kompleks dan telah berlangsung lama.

Muhammadiyah dan Jepang dalam Lintasan Sejarah. Haedar Nashir saat menjadi wartawan Suara Muhammadiyah mewawancarai Prof Mitsuo Nakamura.
Foto: Suara Muhammadiyah
Muhammadiyah dan Jepang dalam Lintasan Sejarah. Haedar Nashir saat menjadi wartawan Suara Muhammadiyah mewawancarai Prof Mitsuo Nakamura.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Yuanda Zara, Dosen Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta

Mendengar kata ‘Muhammadiyah dan Jepang’, pikiran orang agaknya akan segera tertuju setidaknya pada dua aspek; pertama, pada Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Jepang; dan kedua, pada seorang akademisi kenamaan Jepang yang dikenal karena studi rincinya tentang aktivitas Muhammadiyah di Kotagede, Prof. Mitsuo Nakamura. Padahal, dalam kenyataannya, hubungan antara Muhammadiyah dengan Jepang jauh lebih kompleks dan telah berlangsung lama.

Baca Juga

Muhammadiyah dan Jepang punya relasi yang turun-naik. Yang dimaksud dengan Jepang di sini adalah segala representasi yang berkaitan dengan Jepang sebagai sebuah konsep—negara, pasukan pendudukan, kaum Muslim, hingga kalangan akademisinya. Tulisan ini akan secara ringkas mengetengahkan tentang bagaimana hubungan antara Muhammadiyah dan Jepang dalam beberapa dekade pada sekitar pertengahan abad ke-20.

Interaksi awal Muhammadiyah dan Jepang terjadi pada masa pendudukan Jepang (1942-1945). Jepang berada di Hindia Belanda dalam usahanya mendapatkan sumber daya untuk mendukung perang mereka di Asia dan Pasifik.

Mulanya kedatangan Jepang disambut penduduk Indonesia, namun dengan segera tampak bahwa Jepang adalah penguasa yang kejam. Jepang melarang pergerakan politik, menutup media, dan memaksa petani menyerahkan padi pada mereka.

Majalah resmi Muhammadiyah, Suara Muhammadiyah, sempat berhenti terbit pada masa pendudukan Jepang. Barulah setelah beberapa tahun, ketika Jepang kian intensif mendekati umat Islam guna mendapatkan dukungan, majalah Suara Muhammadiyah dapat terbit kembali.

Majalah ini tidak terbit antara Januari 1942 hingga Juni 1944. Pada Juli 1944 (Radjab 1363) akhirnya Suara Muhammadiyah dapat muncul kembali, itupun atas izin Gunseikanbu (Administrasi Militer Pusat Jepang) pada tanggal 20 Desember 2603 (1943). Izin ini berarti juga bahwa Jepang memonitor isi majalah ini.

 

sumber : Suara Muhammadiyah
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement